Ini membahas jenis-jenis layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling. Layanan orientasi dan informasi, penempatan dan penyaluran, bimbingan belajar, konseling perorangan, bimbingan dan konseling kelompok, serta kegiatan penunjang, dibicarakan secara khusus. Pembahasan dan jenis-jenis layanan dan kegiatan itu baru menyangkut pokok-pokok saja, mengingat, pertama bahwa uraian dalam buku ini pada umumnya dimaksudkan untuk memberikan wawasan yang mendasari pemahaman awal tentang masing-masing jenis layanan dan kegiatan yang dimaksudkan. Kedua, pembahasan yang lebih rinci sampai dengan pengembangan keterampilan dalam masing-masing layanan dan kegiatan terdapat dalam buku yang khusus ditulis untuk masing-masing layanan dan kegiatan terdapat dalam buku yang khusus ditulis untuk masing-masing layanan dan kegiatan itu. Dalam pendidikan konselor, materi masing-masing layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling itu bahkan diajarkan dalam mata kuliah tersendiri, di luar mata kuliah “Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling”.
Tujuan
Setelah mempelajari bab ini Anda diharapkan dapat memahami dan memiliki wawasan tentang :
1. Pengertian, tujuan, pokok-pokok dan kemungkinan pelaksanaan layanan orientasi dan informasi, penempatan dan penyaluran, bimbingan belajar, konseling perorangan, serta bimbingan dan konseling kelompok.
2. Pengertian, tujuan, pokok-pokok dan kemungkinan pelaksanaan kegiatan penunjang bimbingan dan konseling, yaitu pemakaian instrumen, penyelenggaraan himpunan data, konferensi kasus, kunjungan rumah, dan alih tangan.
Konsep-konsep Pokok
Konsep-konsep pokok yang perlu dipahami dan didalami lebih lanjut yang terdapat pada bab ini adalah :
· Layanan orientasi
· Layanan informasi :
- Informasi pendidikan
- Informasi jabatan/pekerjaan
- Informasi sosial-budaya
· Layanan penempatan dan penyaluran
- Penempatan dalam kelas
- Penempatan dalam kelompok belajar
- Penempatan dalam jurusan/program studi
- Penempatan dan penyaluran lulusan.
· Layanan bimbingan belajar
- Keterlambatan akademik
- Ketercepatan belajar
- Sangat lambat belajar kurang motivasi belajar
- Sikap dan kebiasaan belajar
- Tes hasil belajar
- Tes kemampuan dasar
- Tes diagnostik
- Analisis hasil belajar
- Pengajaran perbaikan
- Kegiatan pengayaan
· Layanan konseling perorangan :
- Konseling sebagai “jantung hati”
- Bimbingan
- Konseling sebagai layanan ”resmi”
- Keefektifan konseling
- Konseling direktif
- Konseling non-direktif
- Konseling elektik
· Layanan bimbingan kelompok
· Layanan konseling kelompok
· Instrumentasi bimbingan dan konseling
- Teknis tes
- Teknik non-tes
· Himpunan data
- Data pribadi
- Data umum
- Data kelompok
· Konferensi kasus
· Kunjungan rumah
· Alih tangan
A. Layanan Orientasi
Layanan orientasi adalah layanan bimbingan yang dilakukan untuk memperkenalkan siswa baru dan atau seseorang terhadap lingkungan yang baru dimasukinya. Pemberian layanan ini bertolak dari anggapan bahwa memasuki lingkungan baru bukanlah hal yang selalu dapat berlangsung dengan mudah dan menyenangkan bagi setiap orang. Ibarat seseorang yang baru pertama kali datang ke sebuah kota besar, maka ia berada dalam keadaan serba “buta”, buta tentang arah yang hendak dituju, buta tentang jalan-jalan dan buta tentang itu dan ini. Akibat dari kebutaannya itu, tidak jarang ada yang tersesat dab tidak mencapai apa yang hendak ditujunya. Demikian juga bagi siswa baru di sekolah dan atau bagi orang-orang yang baru memasuki suatu dunia kerja, mereka belum banyak mengenal tentang lingkungan yang baru dimasukinya.
1. Layanan Orientasi di Sekolah
Allan & McKean (1984) menegaskan bahwa tanpa program-program orientasi, periode penyesuaian untuk sebagian besar siswa berlangsung kira-kira tiga atau empat bulan. Dalam kaitan itu, penelitian Allan & McKean menunjukkan beberapa hal yang perlu mendapat perhatian, yaitu :
a. Program orientasi yang efektif mempercepat proses adaptasi; dan memberikan kemudahan untuk mengembangkan kemampuan memecahkan masalah.
b. Murid-murid yang mengalami masalah penyesuaian ternyata kurang berhasil di sekolah.
c. Anak-anak dari kelas sosio-ekonomi yang rendah memerlukan waktu yang lebih lama untuk menyesuaikan diri daripada anak-anak dari kelas sosio-ekonomi yang lebih tinggi.
Untuk lingkungan sekolah misalnya, materi orientasi yang mendapat penekanan adalah :
a. Sistem penyelenggaraan pendidikan pada umumnya;
b. Kurikulum yang ada;
c. Penyelenggaraan pengajaran;
d. Kegiatan belajar siswa yang diharapkan;
e. Sistem penilaian, ujian dan kenaikan kelas;
f. Fasilitas dan sumber belajar yang ada (seperti ruang kelas, laboratorium, perpustakaan, ruang praktek);
g. Fasilitas penunjang (sarana olahraga dan rekreasi, pelayanan kesehatan, pelayanan bimbingan dan konseling, kafetaria, dan tata usaha);
h. Staf pengajar dan tata usaha;
i. Hak dan kewajiban siswa
j. Organisasi siswa;
k. Organisasi orang tua siswa;
l. Organisasi sekolah secara menyeluruh.
2. Metode Layanan Orientasi Sekolah
Keluasan dan kedalaman masing-masing pokok materi di atas yang disampaikan kepada siswa disesuaikan dengan jenjang sekolah dan tingkat perkembangan anak. Untuk anak-anak yang baru memasuki kelas satu SD, tentulah materi-materi tersebut tidak perlu (dan tidak dapat) disampaikan kepada anak-anak yang masih sangat muda itu. Pokok-pokok materi itu sebaiknya disampaikan kepada orang tua murid. Pemahaman orang tua terhadap berbagai materi itu akan membantu mereka memberikan kemudahan dan pelayanan kepada anak-anak mereka untuk dapat mengikuti pendidikan di SD dengan sebaik-baiknya.
a. Kunjungan ke SD pemasok
Petugas dari SLTP (misalnya konselor sekolah bersama guru-guru lain yang ditugaskan) mengunjungi SD-SD yang para lulusannya akan memasuki SLTP tersebut. Di sana, para petugas itu menjelaskan berbagai hal-ihwal SLTP itu kepada murid-murid SD kelas tinggi yang diharapkan akan memasuki SLTP yang dimaksudkan. Alangkah baiknya kalau penjelasan itu dilengkapi dengan penyajian gambar, film, poster, dan lain-lain sebagainya. Tanya jawab dengan murid-murid SD itu juga dibuka seluas-luasnya.
b. Kunjungan ke SLTP pemesan
Murid-murid SD kelas tinggi mengunjungi SLTP yang akan mereka masuki. Di sana mereka melihat lingkungan dan kelengkapan sekolah, menerima penjelasan lengkap dengan gambar, film, poster dan tanya jawab.
c. “Malam” pertemuan dengan orang tua
Orang tua murid baru diundang menghadiri suatu pertemuan (boleh siang atau malam) untuk beramah-tamah dengan staf sekolah dan menerima penjelasan tentang hal-ikhwal sekolah tempat anak-anak mereka belajar.
d. Staf konselor bertemu dengan guru membicarakan siswa-siswa baru
Dengan guru-guru (dan kepala sekolah) konselor membicarakan materi orientasi dan cara-cara penyampaiannya kepada siswa. Guru-guru (dengan dikoordinasikan oleh konselor sekolah) melaksanakan kegiatan orientasi itu.
e. Mengunjungi kelas
Konselor berkeliling mengunjungi kelas-kelas murid baru. Konselor menjelaskan dengan berbagai alat bantu dan prosedur tanya jawab tentang berbagai materi tersebut di atas.
f. Memanfaatkan siswa-senior
Tabel
Waktu yang Diperlukan untuk Menyesuaikan Diri bagi Mahasiswa Baru
Waktu
|
Frekuensi
|
%
|
3-4 hari
1 minggu
2 minggu
3 minggu
Lebih satu bulan
|
45
50
26
15
27
|
28
31
16
9
16
|
Jumlah
|
163
|
100
|
3. Layanan Orientasi di Luar Sekolah
Demikian juga individu-individu yang memasuki lingkungan baru di luar (seperti pegawai baru, anggota baru suatu organisasi, bekas narapidana yang kembali ke masyarakat setelah sekian lama menjalani masa hukumannya, dan tidak terkecuali pengantin baru) memerlukan orientasi tentang lingkungan barunya itu. Dengan orientasi itu proses penyesuaian diri atau penyesuaian diri kembali akan memperoleh sokongan yang amat berarti.
B. Layanan Informasi
Secara umum, bersama dengan layanan orientasi bermaksud memberikan pemahaman kepada individu-individu yang berkepentingan tentang berbagai hal yang diperlukan untuk menjalani suatu tugas atau kegiatan atau untuk menentukan arah suatu tujuan atau rencana yang dikehendaki. Dengan demikian, layanan orientasi dan informasi itu pertama-tama merupakan perwujudan dari fungsi pemahaman pelayanan bimbingan dan konseling. Lebih jauh, layanan orientasi dan informasi akan dapat menunjang pelaksanaan fungsi-fungsi bimbingan dan konseling lainnya dalam kaitan antara bahan-bahan orientasi dan informasi itu dengan permasalahan individu.
Ada tiga alasan utama mengapa pemberian informasi perlu diselenggarakan. Pertama, membekali individu dengan berbagai pengetahuan tentang lingkungan yang diperlukan untuk memecahkan masalah yang dihadapi berkenaan dengan lingkungan sekitar, pendidikan, jabatan, maupun sosial-budaya. Dalam masyarakat yang serba majemuk dan semakin kompleks, pengambilan keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan sebagian besar terletak di tangan individu itu sendiri. Dalam hal ini, layanan informasi berusaha merangsang individu untuk dapat secara kritis mempelajari berbagai informasi berkaitan dengan hajat hidup dan perkembangannya. Kedua, memungkinkan individu dapat menentukan arah hidupnya “ke mana dia ingin pergi”. Syarat dasar untuk dapat menentukan arah hidup adalah apabila ia mengetahui apa (informasi) yang harus dilakukan serta bagaimana bertindak secara kreatif dan dinamis berdasarkan atas informasi-informasi yang ada itu. dengan kata lain, berdasarkan atas informasi yang diberikan itu individu diharapkan dapat membuat rencana-rencana dan keputusan tentang masa depannya serta bertanggung jawab atas rencana dan keputusan yang dibuatnya itu. Dan ketiga setiap individu adalah unik. Keunikan itu akan membawakan pola-pola pengambilan keputusan dan bertindak yang berbeda-beda.
Dengan ketiga alasan itu, layanan informasi merupakan kebutuhan yang amat tinggi tingkatannya. Lebih-lebih apabila diingat bahwa “masa depan adalah abad informasi”, maka barang siapa tidak memperoleh informasi, maka ia akan tertinggal dan akan tertinggal dan akan kehilangan masa depan.
1. Jenis-Jenis Informasi
a. Informasi Pendidikan
Dalam bidang pendidikan banyak individu yang berstatus siswa atau calon siswa yang dihadapkan pada kemungkinan timbulnya masalah atau kesulitan. Di antara masalah atau kesulitan tersebut berhubungan dengan (a) pemilihan program studi, (b) pemilihan sekolah, fakultas dan jurusannya, (c) penyesuaian diri dengan program studi, (d) penyesuaian diri terhadap suasana belajar, dan (e) putus sekolah. Mereka membutuhkan adanya keterangan atau informasi untuk dapat membuat pilihan dan keputusan secara bijaksana.
Jenis-jenis informasi pada setiap tingkat itu adalah sebagai berikut :
Pertama kali masuk sekolah :
1) Jam-jam belajar
2) Disiplin dan peraturan sekolah lainnya
3) Kegiatan belajar dan kegiatan anak lainnya di sekolah
4) Buku-buku/alat pelajaran
5) Fasilitas, makanan, kesehatan, tempat bermain
6) Fasilitas transportasi (khususnya bagi mereka yang rumahnya jauh dari sekolah).
7) Peraturan tentang kunjungan orang tua ke sekolah.
Memasuki SLTP :
1) Jadwal kegiatan sekolah
2) Mata pelajaran yang ada (berikut nama-nama gurunya)
3) Kegiatan ko-kurikuler
4) Fasilitas sumber belajar (seperti perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja).
5) Sarana penunjang (seperti pelayanan kesehatan, bimbingan dan konseling).
6) Peraturan sekolah, serta hak dan kewajiban siswa dan orang tua
7) Keadaan fisik sekolah (gedung-gedung, pekarangan sekolah, alamat)
8) Prosedur penerimaan.
Memasuki SLTA :
1) Mata pelajaran dan pembidangannya, seperti mata pelajaran umum, persiapan ke perguruan tinggi, keterampilan.
2) Jurusan atau program-program yang disediakan.
3) Hubungan antara satu jurusan atau program dengan pekerjaan atau kegiatan di masyarakat yang lebih luas.
4) Tersedianya latihan-latihan khusus, seperti mengetik, komputer, perbengkelan, dan lain-lain.
5) Jadwal kegiatan belajar dan latihan
6) Kegiatan ko dan ekstrakurikuler yang disediakan.
7) Tuntutan pengembangan sikap dan kebiasaan belajar
8) Peraturan sekolah, hak dan kewajiban siswa.
9) Fasilitas sumber belajar (seperti perpustakaan, laboratorium, bengkel, dan sebagainya).
10) Pelayanan bimbingan dan konseling
11) Fasilitas penunjang (pelayanan kesehatan, makanan, bursa buku/alat-alat pelajaran, transportasi, sarana).
12) Kemungkinan bea siswa
13) Kemungkinan melanjutkan pelajaran ke perguruan tinggi
14) Keadaan fisik sekolah (gedung-gedung, pekarangan sekolah, alamat, lingkungan sekolah).
15) Prosedur penerimaan
Memasuki Perguruan Tinggi :
Secara garis besar informasi pendidikan yang diperlukan para (calon) lulusan SLTA adalah :
1) Lembaga pendidikan yang menyajikan program-program yang lebih spesifik (dengan berbagai butir pokok informasi sebagaimana disebutkan terdahulu);
2) Beasiswa dan berbagai kemungkinan tunjangan yang dapat diperoleh beserta syarat-syarat dan cara-cara melamarnya (mengajukan permohonan);
3) Program-program latihan khusus, misalnya di perusahaan-perusahaan industri;
4) Kemungkinan lain yang dapat dimasuki oleh lulusan SLTA, seperti memasuki jajaran ABRI, dan sebagainya.
b. Informasi Jabatan
Informasi jabatan/pekerjaan yang baik sekurang-kurangnya memuat hal-hal sebagai berikut :
1) Struktur dan kelompok-kelompok jabatan/pekerjaan utama
2) Uraian tugas masing-masing jabatan/pekerjaan
3) Kualifikasi tenaga yang diperlukan untuk masing-masing jabatan
4) Cara-cara atau prosedur penerimaan
5) Kondisi kerja
6) Kesempatan-kesempatan untuk pengembangan karier
7) Fasilitas penunjang untuk kesejahteraan pekerjaan, seperti kesehatan, olahraga dan rekreasi, kesempatan pendidikan bagi anak-anak, dan sebagainya.
Pemberian informasi kepada para siswa di sekolah sifatnya sangat strategis, baik dipandang dari segi tahap-tahap perkembangan mereka maupun keadaan masyarakat yang selalu berubah dan menuntut adanya tenaga kerja yang dapat mendukung kesejahteraan warga masyarakat dan perkembangan masyarakat itu sendiri. Di sinilah letaknya “tugas rangkap” pendidikan yaitu memperkembangkan individu-individu secara optimal dan menyiapkan mereka menjadi warga masyarakat yang bekerja dalam arti seluas-luasnya.
Tingkat SD
Tingkat ini merupakan tingkatan yang paling awal dan mendasar. Informasi yang diberikan pada tingkat ini bersifat umum dan tidak mengarah pada jenis-jenis jabatan/pekerjaan tertentu. Pemberian untuk anak-anak SD pada umumnya dimaksudkan untuk :
1. Mengembangkan sikap terhadap segala jenis pekerjaan. Guru/konselor sekolah benar-benar berhati-hati. Jangan sampai melalui kata atau tindakan, menunjukkan prasangka ataupun kecenderungan positif/negatif terhadap jenis pekerjaan tertentu.
2. Membawa anak-anak untuk menyadari betapa luasnya dunia kerja yang ada, terentang dari pekerjaan yang dijabat orang tua anak-anak itu sampai ke segala macam pekerjaan di masyarakat luas.
3. Menjawab berbagai pertanyaan anak-anak tentang pekerjaan. Dorongan ingin tahu anak-anak akan membawa mereka menanyakan segala sesuatu tentang pekerjaan. Dalam hal ini jawaban atau informasi yang tepat dan benar (tidak dibuat-buat atau disamarkan) harus segera diberikan kepada anak setiap waktu mereka bertanya.
4. Menekankan jasa dari masing-masing jenis pekerjaan kepada kesejahteraan hidup rumah tangga dan masyarakat (tidak hanya mengemukakan gaji atau penghasilan yang diperoleh melalui pekerjaan itu). Perlunya bakat atau kemampuan atau keterampilan khusus untuk jenis-jenis pekerjaan tertentu, terutama yang bermanfaat bagi pemberian bantuan kepada sesama manusia, perlu disampaikan dan ditonjolkan kepada anak-anak.
5. Pekerjaan ada dimana-mana, di tingkat desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, negara dan bahkan dunia. Pada tingkat perkembangan itu, anak-anak mulai membandingkan pekerjaan-pekerjaan yang ada di desa dan di kota, di daerahnya sendiri dan di daerah lain, bahkan di negaranya sendiri dan di negara lain. Anak dirangsang untuk mulai menyadari bahwa ada seribu satu macam cara yang dilakukan oleh manusia untuk mencari penghidupan dan memenuhi kebutuhan hidupnya melalui berbagai jenis pekerjaan.
6. Saling ketergantungan antara pekerjaan yang satu dengan yang lainnya. Pada anak-anak perlu dikembangkan bahwa untuk terlaksananya suatu pekerjaan yang baik, para pekerja saling bekerja antara yang satu dengan yang lainnya; oleh karena itu mereka harus saling membantu dan bekerjasama.
7. Baik kemampuan khusus maupun ciri-ciri kepribadian tertentu, diperlukan untuk keberhasilan (kesuksesan) bagi sebagian besar jenis pekerjaan.
8. Untuk memilih suatu pekerjaan diperlukan informasi yang tepat (yaitu tentang hakikat pekerjaan itu sendiri, latihan yang diperlukan, kondisi kerja, dan sebagainya).
9. Ada berbagai masalah yang mungkin dihadapi oleh orang-orang yang menginginkan pekerjaan tertentu (seperti peralatan yang diperlukan untuk pekerjaan itu mahal, biaya untuk program pendidikan dan latihan mahal dan waktunya lama, kondisi kerja dalam pekerjaan itu kurang menyenangkan, dan sebagainya).
10. Untuk memilih pekerjaan atau karier di masa depan perlu kehati-hatian dan pertimbangan yang matang.
Tingkat SLTP
Informasi jabatan/pekerjaan di SLTP menyajikan bahwa informasi dengan tujuan agar para siswa mampu merencanakan secara umum masa depannya dan tidak merencanakan pekerjaan tertentu secara khusus. Pada tingkat ini diharapkan para siswa mulai :
1. Mempelajari bidang pekerjaan secara lebih luas seperti bidang perdagangan, permesinan, administrasi, perkantoran, dan lain-lain.
2. Melihat hubungan antara bidang-bidang pekerjaan itu dengan mata-mata pelajaran yang ada di sekolah. Pada kelas tertinggi SLTP siswa hendaknya telah mendekati pilihan program pendidikan yang ingin diikutinya sesuai dengan arah pengembangan kariernya. Di SLTA nantinya anak-anak akan segera memasuki jurusan-jurusan tertentu yang secara lebih khusus mengarahkan mereka ke karier yang mereka pilih.
3. Lebih mendalami informasi tentang pekerjaan tertentu. Pada tahap perkembangan ini anak-anak sampai pada periode yang cukup menentukan, yaitu sebagian di antara mereka melanjutkan pelajaran dan sebagian lagi terpaksa berhenti sekolah. Bahkan diantara mereka mungkin ada yang terpaksa sekolah sambil bekerja, baik dengan alasan ingin “mencoba” pekerjaan itu atau mencari penghasilan untuk biaya sekolah.
4. Memahami cara-cara memperoleh informasi yang tepat dan mutakhir dengan jumlah yang cukup tentang dunia kerja. Cara-cara itu meliputi studi kepustakaan, mempelajari dokumentasi tentang pekerjaan dan mengikuti berbagai penyajian tentang informasi pekerjaan melalui ceramah dan atau media cetak/elektronik. Mengamati langsung beroperasinya pekerjaan yang dimaksud dan wawancara dengan para pekerjanya oleh para siswa sendiri sangat dianjurkan.
5. Memahami pentingnya dan ruang lingkup perencanaan pekerjaan/karier. Pada tahap ini para siswa hendaknya menyadari bahwa memilih suatu pekerjaan pada dasarnya adalah memilih cara hidup tertentu.
6. Memahami bahwa dunia kerja itu tidak pernah dalam keadaan tetap (statis), tetapi terus berubah dan berkembang. Para siswa hendaknya menyadari bahwa ketika mereka menamatkan SLTA atau bahkan sesudah itu, pekerjaan yang diinginkan semula pada waktu itu sudah tidak ada lagi atau sudah berubah (tidak lagi seperti dibayangkan, diinformasikan dahulu), sementara itu jenis-jenis pekerjaan baru muncul dan keterampilan-keterampilan baru dituntut dari para pekerja.
Tingkat SLTA
Lebih jauh, informasi pekerjaan SLTA hendaklah meliputi, cakupan yang memungkinkan siswa :
1. Mempergunakan berbagai cara untuk memperdalam dan memperluas pemahaman tentang dunia kerja pada umumnya dan bidang pekerjaan tertentu pada khususnya.
2. Mengembangkan rencana sementara pekerjaan yang akan menjadi pegangan setamat SLTA.
3. Memiliki pengetahuan tentang ataupun mempunyai hubungan dengan pekerjaan tertentu apabila siswa memang menghendaki untuk memegang jabatan itu (baik ataupun sementara) setamat dari SLTA. Informasi dan bantuan khusus untuk “mendekati” pekerjaan itu perlu diberikan kepada siswa yang menghendakinya.
Pasca SLTA
Selepas SLTA para remaja/pemuda pada umumnya memasuki dunia kerja atau melanjutkan pelajaran ke perguruan tinggi. Karena dunia kerja itu selalu berubah, mereka memerlukan informasi tentang pekerjaan-pekerjaan baru dengan berbagai kondisi dan syarat-syaratnya. Informasi baru tersebut berguna bagi penyesuaian pilihan pekerjaan dan sekaligus pilihan program-program pendidikan dan latihan yang relevan.
c. Informasi Sosial-Budaya
Masyarakat Indonesia dikatakan juga masyarakat yang majemuk, karena berasal dari berbagai suku bangsa, agama dan adat-istiadat serta kebiasaan-kebiasaan yang berbeda. Perbedaan-perbedaan ini sering pula membawa perbedaan dalam pola dan sikap hidup sehari-hari. Namun demikian, perbedaan-perbedaan itu tetap dalam kesatuan sebagaimana tertera dalam Lambang Negara Indonesia “Bhinneka Tunggal Ika”. Perbedaan-perbedaan yang dimiliki itu hendaknya tidak mengakibatkan masyarakatnya bercerai-berai, tetapi justru menjadi sumber inspirasi dalam hidup bernegara, berbangsa dan bermasyarakat, yang dapat hidup berdampingan antara yang satu dengan yang lain.
Untuk memungkinkan sikap warga negara Indonesia dapat hidup seperti yang dimaksud di atas, sejak dini mereka perlu dibekali dengan pengetahuan dan pemahaman isi informasi tentang keadaan sosial-budaya berbagai daerah. Hal ini dapat dilakukan melalui penyajian informasi sosial-budaya yang meliputi :
1) Macam-macam suku bangsa
2) Adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan
3) Agama dan kepercayaan-kepercayaan
4) Bahasa, terutama istilah-istilah yang dapat menimbulkan kesalah-pahaman suku bangsa lainnya.
5) Potensi-potensi daerah
6) Kekhususan masyarakat atau daerah tertentu
Informasi itu perlu diperluas sampai menjangkau informasi tentang bangsa-bangsa lain, khususnya untuk melihat kemajuan-kemajuan yang telah dicapai oleh bangsa-bangsa lain itu. Dengan informasi seperti itu, diharapkan masyarakat kita, terutama generasi mudanya, terangsang untuk maju lebih cepat lagi mengejar budaya yang telah lebih maju itu, terutama dalam bidang ilmu dan teknologinya.
2. Metode Layanan Informasi di Sekolah
Pemberian informasi kepada siswa dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti metode ceramah, diskusi panel, wawancara, karyawisata, alat-alat peraga dan alat-alat bantu lainnya, buku panduan, kegiatan sanggar karier, sosiodrama.
a. Ceramah
Ceramah merupakan metode pemberian informasi yang paling sederhana, mudah dan murah, dalam arti bahwa metode ini dapat dilakukan hampir oleh setiap petugas bimbingan di sekolah. Di samping itu, teknik ini juga tidak memerlukan prosedur dan biaya yang banyak. Penyajian informasi dapat dilakukan oleh Kepala Sekolah, konselor, guru-guru dan staf sekolah lainnya. Atau dapat juga dengan mendatangkan narasumber, misalnya dari lembaga-lembaga pendidikan, Departemen Tenaga Kerja, badan-badan usaha, dan lain-lain.
b. Diskusi panel
Penyampaian informasi kepada siswa dapat dilakukan melalui diskusi. Diskusi semacam ini dapat diorganisasikan baik oleh siswa sendiri maupun oleh konselor, atau guru. Apabila diskusi penyelenggaraannya dilakukan disajikannya itu, dan dengan yang lebih mengetahuinya. Konselor, guru bertindak sebagai pengamat dan sedapat-dapatnya memberikan pengarahan ataupun melengkapi informasi-informasi yang dibahas di dalam diskusi tersebut. Selanjutnya, untuk menarik perhatian para peserta dapat ditampilkan berbagai contoh dan peragaan lainnya.
c. Karyawisata
Karyawisata merupakan salah satu bentuk kegiatan belajar mengajar yang telah dikenal secara meluas, baik oleh masyarakat sekolah maupun masyarakat umum. Dalam bidang bimbingan dan konseling, karyawisata mempunyai dua sumbangan pokok. Pertama, membantu siswa belajar dengan menggunakan berbagai sumber yang ada dalam masyarakat yang dapat menunjang perkembangan mereka. Kedua, memungkinkan diperolehnya informasi yang dapat membantu pengembangan sikap-sikap terhadap pendidikan, pekerjaan, dan berbagai masalah dalam masyarakat.
Penggunaan karyawisata untuk maksud membantu siswa mengumpulkan informasi dan mengembangkan sikap-sikap yang positif, menghendaki siswa berpartisipasi secara penuh baik dalam persiapan maupun pelaksanaan berbagai kegiatan terhadap objek yang dikunjungi. Kegiatan karyawisata dapat dilakukan di berbagai lapangan lapangan. Untuk itu, perlu dibuat variasi objek-objek yang akan dikunjungi dari waktu ke waktu. Hal ini dimaksudkan untuk memungkinkan siswa-siswa mempunyai kesempatan mengenal banyak objek yang berbeda. Kunjungan yang bervariasi itu merupakan salah satu cara untuk memperluas minat dan mengembangkan sikap-sikap yang konstruktif.
d. Buku panduan
Buku-buku panduan (seperti buku panduan sekolah atau perguruan tinggi, buku panduan kerja bagi para karyawan) dapat membantu siswa dalam mendapatkan banyak informasi yang berguna. Selain itu siswa juga dapat diajak membuat “buku karier” yang merupakan kumpulan berbagai artikel dan keterangan tentang pekerjaan/pendidikan dari koran-koran dan media cetak lainnya. Pembuatan “buku-buku di bawah bimbingan langsung konselor. Versi lain dari “buku karier” itu menempelkan potongan atau guntingan rubric yang mengandung nilai informasi pendidikan jabatan dari koran/majalah pada “papan bimbingan”.
e. Konferensi karier
Konferensi karier dilakukan dengan mengikuti salah satu pola di bawah ini :
Pola pertama, menyisihkan waktu selama satu jam atau lebih di luar hari-hari sekolah setiap semester. Selama waktu ini siswa dibagi atas beberapa kelompok, dan masing-masing kelompok mengadakan diskusi dengan narasumber yang ditentukan sebelumnya.
Pola kedua, menyediakan waktu sehari penuh atau lebih setiap semester untuk mengadakan konferensi. Pelaksanaan konferensi diawali dengan pertemuan umum, kemudian dilanjutkan dengan pertemuan kelompok. Dalam kesempatan ini siswa diberi kesempatan untuk mengikuti sejumlah pertemuan yang berbeda.
Pola ketiga, menyediakan jadwal konferensi dengan mengadakan pertemuan sekali setiap minggu. Siswa dapat mengikuti diskusi sesuai dengan bidang-bidang yang diminatinya. Pola seperti ini tidak saja menguntungkan bagi siswa untuk berperan serta dalam berbagai kelompok diskusi yang diminatinya, tetapi juga prosedur administrasinya tidak terlalu merepotkan.
Pola keempat, mengadakan pekan bimbingan karier selama satu minggu terus menerus.
3. Layanan Informasi di Luar Sekolah
Sebagaimana layanan orientasi, layanan informasi juga banyak diperlukan oleh warga masyarakat di luar sekolah. Jenis-jenis informasi yang diperlukan itu pada dasarnya sejalan dengan informasi yang telah diuraikan di atas, yaitu informasi berkenaan dengan penghidupan yang lebih luas, yaitu perikehidupan beragama, berkeluarga, bekerja, bermasyarakat, dan bernegara dapat merupakan kebutuhan banyak warga masyarakat. Rincian berbagai informasi itu agaknya tidak terbatas, selalu dapat berubah sesuai dengan perubahan dan perkembangan masyarakat.
C. Layanan Penempatan dan Penyaluran
Individu sering mengalami kesulitan dalam menentukan pilihan, sehingga tidak sedikit individu yang bakat, kemampuan minat, dan hobinya tidak tersalurkan dengan baik. Individu seperti itu tidak mencapai perkembangan secara optimal. Mereka memerlukan bantuan atau bimbingan dari orang-orang dewasa, terutama konselor, dalam menyalurkan potensi dan mengembangkan dirinya.
1. Penempatan dan Penyaluran Siswa di Sekolah
Penempatan dan penyaluran siswa di sekolah dapat berupa (a) penempatan siswa di dalam kelas, (b) penempatan dan penyaluran ke dalam kelompok-kelompok belajar, (c) ke dalam kegiatan ko/ekstra kurikuler, dan (d) ke dalam jurusan/program studi yang sesuai.
a. Layanan Penempatan di dalam Kelas
Layanan penempatan di dalam kelas itu merupakan jenis layanan yang paling sederhana dan mudah dibandingkan dengan layanan penempatan penyaluran lainnya. Namun demikian, penyelenggaraannya tidak boleh diabaikan. Penempatan masing-masing anak secara tepat akan membawa keuntungan :
1) Bagi siswa yang bersangkutan, yaitu memberikan penyesuaian dan pemeliharaan terhadap kondisi individu siswa (kondisi fisik, mental, sosial).
2) Bagi guru, khususnya dalam kaitannya dengan pengelolaan kelas, dengan penempatan yang tepat menjadi lebih mudah menggerakkan dan mengembangkan semangat belajar siswa.
Kedua keuntungan di atas pada akhirnya bermuara pada pemberian kemudahan bagi pengembangan anak secara optimal sesuai dengan tahap perkembangan masing-masing.
b. Penempatan dan Penyaluran ke Dalam Kelompok Belajar
Pembentukan kelompok belajar mempunyai dua tujuan pokok. Pertama, untuk memberikan kesempatan bagi siswa untuk maju sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Tujuan ini biasanya diterapkan dalam pelaksanaan proses belajar mengajar yang menggunakan sistem maju berkelanjutan. Dalam sistem ini setiap siswa mempunyai kesempatan untuk maju sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya tanpa harus menunggu atau didesak oleh siswa lain. Pada dasarnya dalam sistem ini masing-masing siswa dapat maju setiap ada kesempatan, ibarat pengikut perlombaan balap sepeda, balap mobil, dan sebagainya.
Kedua, untuk wadah belajar bersama. Berbeda dengan cara pengelompokan pertama, dalam pengelompokan ini dilakukan tidak menurut kemampuan siswa, melainkan dilakukan sedemikian rupa sehingga di dalam suatu kelompok belajar akan terdapat siswa-siswa yang kemampuannya pandai, sedang and kurang. Atau dapat juga dilakukan berdasarkan atas pilihan siswa. Dalam hal ini, para siswa bebas memilih teman-teman sekelas yang paling disukainya untuk dijadikan teman belajar. Pembentukan kelompok seperti ini bertitik tolak dari anggapan dasar bahwa siswa dapat belajar bersama, saling memberi dan menerima, saling tukar pengetahuan dan keterampilan. Karena dalam kelompok itu ada siswa yang pandai, dan ada siswa yang kurang pandai, maka siswa yang pandai dapat menularkan apa yang ia miliki kepada siswa lain yang kurang pandai. Sedangkan siswa yang pandai itu sendiri dapat semakin memantapkan pengetahuan dan keterampilannya.
c. Penempatan dan Penyaluran ke Dalam Kegiatan Ko/Ekstra Kurikuler
Kegiatan ko/ekstrakurikuler merupakan bagian dari kurikulum. Sebagaimana dengan kegiatan-kegiatan lain, kegiatan ko/ekstrakurikuler pun dapat menjadi wadah belajar bagi siswa. Ia menempati tingkat kepentingan yang setara dengan kegiatan-kegiatan akademik lainnya walaupun sifatnya berlainan. Tetapi sangat disayangkan, kegiatan-kegiatan ini masih dipandang sebagai “hiasan” tambahan, sebagai kegiatan yang tidak begitu menentukan perkembangan siswa.
Salah satu ciri yang menonjol dari kegiatan ko/ekstrakurikuler adalah keanekaragamannya, mulai dari memasak sampai musik, dari pengumpulan perangko sampai dengan permainan hoki. Hampir semua minat remaja dapat digunakan sebagai bagian dari kegiatan ko/ekstrakurikuler. Banyak kebutuhan siswa yang dapat dilayani melalui kegiatan ko/ekstrakurikuler. Misalnya, dalam menyesuaikan diri dengan teman-teman di lingkungannya yang baru atau dalam usaha mendapatkan teman-teman baru.
d. Penempatan dan Penyaluran ke Jurusan/Program Studi
Setiap awal tahun ajaran, banyak siswa SMA yang menghadapi masalah “jurusan/program apa yang sebaiknya saya ikuti?” Sebagian siswa dapat merencanakan atau menentukan sendiri jurusan/program studi apa yang akan diambilnya. Mereka menyiapkan diri dengan sebaik-baiknya, namun disamping itu, banyak juga siswa yang tidak dapat membuat rencananya secara realistis. Mereka membuat rencana hanya berdasarkan atas kemauan dan keinginan, tidak menyesuaikannya dengan bakat dan kemampuan yang dimilikinya, atau bahkan ada siswa-siswa yang tidak mampu membuat rencana sama sekali. Terhadap siswa-siswa yang seperti ini perlu diberikan bantuan agar mereka dapat membuat rencana-rencana dan mengambil keputusan secara bijaksana.
2. Penempatan dan Penyaluran Lulusan
Pada setiap akhir tahun ajaran ratusan ribu atau bahkan jutaan anak muda menamatkan studi dari jenjang pendidikan tertentu. Pada umumnya mereka mendambakan untuk dapat melanjutkan pendidikan pada tingkat yang lebih tinggi. Atau bagi yang memang tidak bermaksud untuk melanjutkan pendidikan, mereka mendambakan untuk dapat diterima pada lapangan kerja yang sesuai.
Saat seperti itu merupakan saat yang kritis bagi kebanyakan para lulusan, baik tamatan pendidikan dasar, pendidikan menengah, maupun pendidikan tinggi. Mereka berada dalam masa transisi dari satu tingkat pendidikan ke tingkat pendidikan lainnya atau dari dunia pendidikan ke dunia kerja. Dalam suasana ini, mereka dihinggapi oleh berbagai perasaan, seperti cemas, binging, tidak menentu, dan sebagainya. Perasaan-perasaan seperti ini terutama sekali dialami oleh lulusan yang sebelumnya kurang mempersiapkan dirinya dengan baik.
a. Penempatan dan Penyaluran ke dalam Pendidikan Lanjutan
Penempatan dan penyaluran siswa pada pendidikan lanjutan tidak dapat dilakukan secara acak, tetapi memerlukan perencanaan yang matang sebelum siswa tamat dari bangku sekolah yang sedang didudukinya. Karena hal ini, baik langsung maupun tidak langsung, juga akan menyangkut citra sekolah secara keseluruhan, maka sekolah mempunyai tanggung jawab yang besar dalam menyelenggarakan pelayanan penempatan dan penyaluran para siswanya setelah mereka tamat nantinya. Masalah-masalah sebagaimana dikemukakan di atas tidak perlu terjadi atau setidak-tidaknya dapat dikurangi bilamana sekolah memberikan bantuan dalam pengembangan dan penyusunan rencana pendidikan lanjutan bagi para siswanya. Rencana yang baik ialah rencana yang disusun berdasarkan atas pertimbangan tentang kekuatan dan kelemahan siswa dari segi-segi yang amat menentukan keberhasilan studi pada program pendidikan lanjutan itu, terutama segi kemampuan dasar, bakat dan minat, serta kemampuan keuangan. Oleh sebab itu sangat penting diungkapkan bakat, minat, kemampuan dan ciri-ciri kepribadian lainnya yang dimiliki siswa, serta keadaan sosial ekonomi orang tua/wali siswa.
b. Penempatan dan Penyaluran ke Dalam Jabatan/Pekerjaan
Di samping penempatan dalam pendidikan, sekolah juga membantu para siswanya yang akan memasuki dunia kerja. Walaupun di sekeliling siswa tersedia berbagai lapangan kerja, tetapi tidak semua lapangan kerja itu dapat dengan mudah atau cocok untuk dimasuki. Sebagaimana halnya dengan dunia pendidikan, maka masing-masing bidang pekerjaan itu memiliki sifat dan ciri-ciri tersendiri. Kondisi, sifat dan ciri pekerjaan tercantum pada informasi pekerjaan sebagaimana telah diutarakan. Selanjutnya, untuk keperluan praktis informasi tersebut dituangkan ke dalam kriteria penerimaan tenaga kerja. Kriteria ini pada umumnya tidak dimiliki oleh setiap orang, karena individu itu berbeda antara yang satu dengan yang lain, baik bakat, minat, kemampuan, dan sifat-sifat kepribadian lainnya. Prinsip lain yang perlu diperhatikan ialah bahwa bagi setiap lapangan kerja penambahan tenaga kerja berarti peningkatan produktivitas pada lapangan kerja yang dimaksud. Penambahan jumlah tenaga kerja tanpa diikuti dengan peningkatan produktivitas sama dengan pemborosan. Sedangkan peningkatan produktivitas hanya mungkin dicapai apabila tenaga kerja yang bersangkutan mempunyai motivasi yang tinggi untuk berprestasi, mempunyai kemauan untuk bekerja keras, mencintai dan menyenangi pekerjaannya, di samping memiliki pengetahuan dan keterampilan yang tinggi dalam melaksanakan pekerjaannya itu.
Peranan orang tua atau wali siswa juga cukup penting, terutama dalam memberikan data pendukung tentang siswa, menjalankan keputusan tentang penempatan dan penyaluran yang dilakukan oleh sekolah dengan layanan serta perlakuan orang tua terhadap anak, dan dalam memberikan kemudahan-kemudahan bagi kegiatan belajar siswa (seperti keizinan bagi anak untuk melakukan kegiatan--khususnya kegiatan di luar jam pelajaran; penyediaan buku-buku dan alat-alat keperluan pembelajaran, serta biaya). Apabila trio “guru—konselor—orang tua” kelompok dan matang dalam menangani layanan penempatan dan penyaluran demi kebahagiaan anak, sangat dapat diharapkan perkembangan anak berada pada jalur yang tepat.
D. Layanan Bimbingan Belajar
Bimbingan belajar merupakan salah satu bentuk layanan bimbingan yang penting diselenggarakan di sekolah. Pengalaman menunjukkan bahwa kegagalan-kegagalan yang dialami siswa dalam belajar tidak selalu disebabkan oleh kebodohan atau rendahnya inteligensi. Sering kegagalan itu terjadi disebabkan mereka tidak mendapat layanan bimbingan yang memadai.
Layanan bimbingan belajar dilaksanakan melalui tahap-tahap : (a) pengenalan siswa yang mengalami masalah belajar, (b) pengungkapan sebab-sebab timbulnya masalah belajar, dan (c) pemberian bantuan pengentasan masalah belajar.
Pengenalan Siswa yang Mengalami Masalah Belajar
Di sekolah, di samping banyaknya siswa yang berhasil secara gemilang dalam belajar, sering pula dijumpai adanya siswa yang gagal, seperti angka-angka rapor rendah, tidak naik kelas, tidak lulus ujian akhir, dan sebagainya. Secara umum, siswa-siswa yang seperti itu dapat dipandang sebagai siswa-siswa yang mengalami masalah belajar. Secara lebih luas, masalah belajar tidak hanya terbatas pada contoh-contoh yang disebutkan itu. Masalah belajar memiliki bentuk yang banyak ragamnya, yang pada umumnya dapat digolongkan atas :
a. Keterlambatan akademik, yaitu keadaan siswa yang diperkirakan memiliki inteligensi yang cukup tinggi, tetapi tidak dapat memanfaatkannya secara optimal.
b. Ketercepatan dalam belajar, yaitu keadaan siswa yang memiliki bakat, akademik yang cukup tinggi atau memiliki IQ 130 atau lebih, tetapi masih memerlukan tugas-tugas khusus untuk menentukan kebutuhan dan kemampuan belajarnya yang amat tinggi itu.
c. Sangat lambat dalam belajar, yaitu keadaan siswa yang memiliki bakat akademik yang kurang memadai dan perlu dipertimbangkan untuk mendapat pendidikan atau pengajaran khusus.
d. Kurang motivasi dalam belajar, yaitu keadaan siswa yang kurang bersemangat dalam belajar; mereka seolah-olah tampak jera dan malas.
e. Bersikap dan berkebiasaan buruk dalam belajar, yaitu kondisi siswa yang kegiatan atau perbuatan belajarnya sehari-hari antagonistik dengan yang seharusnya, seperti suka menunda-nunda tugas, mengulur-ulur waktu, membenci guru, tidak mau bertanya untuk hal-hal yang tidak diketahuinya, dan sebagainya.
Tes Hasil Belajar
Tes hasil belajar adalah suatu alat yang disusun untuk mengungkapkan sejauh mana siswa telah mencapai tujuan-tujuan pengajaran yang ditetapkan sebelumnya. Siswa-siswa dikatakan telah mencapai tujuan pengajaran apabila dia telah menguasai sebagian besar materi yang berhubungan dengan tujuan pengajaran yang telah ditetapkan. Ketentuan ini merupakan penerapan dari konsep belajar tuntas (mastery learning) yang didasarkan pada asumsi bahwa setiap siswa dapat mencapai hasil belajar sebagai yang diharapkan jika dia diberi waktu yang cukup dan bimbingan yang memadai untuk mempelajari bahan yang disajikan. Ketuntasan penguasaan bahan ditentukan dengan menetapkan patokan, yaitu persentase minimal yang harus dicapai oleh siswa. Siswa yang belum menguasai bahan pelajaran sesuai dengan patokan yang ditetapkan, dikatakan belum menguasai tujuan-tujuan pengajaran. Siswa yang seperti ini digolongkan sebagai siswa yang mengalami masalah dalam belajar dan memerlukan bantuan khusus. Sedangkan siswa yang sudah menguasai secara tuntas semua bahan yang disajikan sebelum batas waktu yang ditetapkan berakhir, digolongkan sebagai siswa yang sangat cepat dalam belajar. Mereka ini patut mendapat tugas-tugas tambahan sebagai pengayaan.
Cara lain untuk melihat derajat keberhasilan siswa belajar ialah dengan memperhatikan kurva yang dibentuk oleh nilai-nilai hasil belajar yang dicapai oleh kelompok siswa (misalnya siswa dalam satu kelas, atau dalam satu tingkatan kelas). Anggota kelompok itu menyebar pada keseluruhan kurva seperti tampak pada Gambar 9.
Lambat sekali Lambat Sedang Pandai Pandai sekali
Lambat sekali Lambat Sedang Pandai Pandai sekali
Gambar 9
Kurva Hasil Belajar
Tingkat keberhasilan siswa dalam belajar ditentukan dengan melihat kedudukan nilai siswa yang bersangkutan pada kurva. Nilai yang terletak di tengah kurva menandakan bahwa siswa yang mencapai nilai itu tergolong sedang, yang di sebelah kanan kurva tergolong pandai, dan yang berada di ujung kurva sebelah kanan tergolong amat pandai. Sebaliknya yang berada di sebelah kiri tergolong lambat, dan yang di ujung kiri termasuk lambat sekali. Dengan penggolongan itu dapatlah diketahui siapa-siapa yang memerlukan bantuan khusus, dan siapa-siapa yang memerlukan materi pengayaan.
Tes Kemampuan Dasar
Setiap siswa memiliki kemampuan dasar atau intelegensi tertentu. Tingkat kemampuan dasar ini biasanya diukur atau diungkapkan dengan mengadministrasikan tes intelegensi yang sudah baku. Beberapa tes yang terkenal dalam bidang ini antara lain adalah Progressive Matrices (PM), Wechles Intelligence Scale (WAIS dan WISC), Stanford Binet Intelligence Scale (SBIS). Dalam banyak skala inteligensi, kemampuan dasar manusia diklasifikasikan sebagai berikut :
I.Q.
|
140 ke atas
120 – 139
110 – 129
90 – 109
80 – 89
70 – 79
Di bawah 70
|
- Sangat cerdas
- Cerdas
- Di atas rata-rata
- Normal atau rata-rata
- Di bawah rata-rata
- Bodoh
- Sangat bodoh
|
Hasil belajar yang dicapai siswa seyogyanya dapat mencerminkan tingkat kemampuan dasar yang dimilikinya. Siswa yang kemampuan dasarnya tinggi akan mencapai hasil belajar tinggi pula. Bilamana seorang siswa mencapai hasil belajar lebih rendah dari teraan inteligensi yang dimilikinya, maka siswa yang bersangkutan digolongkan sebagai siswa yang mengalami masalah dalam belajar.
Skala Sikap dan Kebiasaan Belajar
Sikap dan kebiasaan belajar merupakan salah satu faktor yang penting dalam belajar. Sebagian dari hari belajar ditentukan oleh sikap dan kebiasaan yang dilakukan siswa dalam belajar. Dari berbagai penelitian yang pernah diadakan di tanah air terdapat hubungan yang berarti antara sikap dan kebiasaan belajar dengan hasil belajar.
Sebagian dari sikap dan kebiasaan siswa belajar itu dapat diketahui dengan mengadakan pengamatan dalam kelas. Misalnya, dalam hal mengerjakan tugas-tugas, membaca buku, membuat catatan dan kegiatan-kegiatan lain yang berhubungan dengan belajar siswa. Tetapi pengamatan biasanya terbatas pada sikap dan kebiasaan yang dapat diterima oleh alat indra.
Tes Diagnostik
Tes diagnostik merupakan instrumen untuk mengungkapkan adanya kesalahan-kesalahan yang dialami oleh siswa dalam bidang pelajaran tertentu. Misalnya untuk mata pelajaran berhitung/matematika apakah dijumpai kesalahan-kesalahan dalam operasi berhitung, atau pemakaian rumus-rumus; untuk pelajaran bahasa dijumpai kesalahan-kesalahan dalam penerapan tata bahasa dan pemakaian ejaan. Untuk semua mata pelajaran diharapkan dapat disusun dan dibuatkan tes diagnostiknya masing-masing.
Dengan tes diagnostik sebenarnya sekaligus dapat diketahui kekuatan dan kelemahan siswa. Makin sedikit siswa membuat kesalahan pada tes diagnostik, makin kuatlah siswa pada materi pelajaran yang bersangkutan; dan sebaliknya. Siswa-siswa yang ternyata sudah cukup kuat dalam mata pelajaran yang dimaksud dianjurkan untuk terus memupuk kekuatan mereka itu, sedangkan siswa yang masih mengalami banyak kesalahan berarti memerlukan bantuan khusus.
Analisis Hasil Belajar atau Karya
Analisis hasil belajar atau karya merupakan bentuk lain dari tes diagnostik. Tujuannya sama, yaitu mengungkapkan kesalahan-kesalahan yang dialami oleh siswa dalam mata pelajaran tertentu. Apabila tes diagnostik disusun, dibakukan, dsn diselenggarakan dalam bentuk tes (sebagian besar tertulis), analisis hasil belajar merupakan prosedur yang pelaksanaannya dilakukan dengan jalan memeriksa secara langsung materi hasil belajar yang ditampilkan siswa, baik melalui tulisan, bentuk grafik atau gambar, bentuk tiga dimensi yang berupa model, maket dan bentuk-bentuk tiga dimensi hasil kerajinan dan keterampilan tangan lainnya, serta gerak dan suara. Bentuk hasil belajar yang lain dapat berupa foto, film, ataupun rekaman video.
Upaya Membantu Siswa yang Mengalami Masalah Belajar
Siswa yang mengalami masalah belajar seperti diutarakan di depan perlu mendapat bantuan agar masalahnya tidak berlarut-larut yang nantinya dapat mempengaruhi proses perkembangan siswa. Beberapa upaya yang dapat dilakukan adalah dengan (a) pengajaran perbaikan, (b) kegiatan pengayaan, (c) peningkatan motivasi belajar, dan (c) pengembangan sikap dan kebiasaan belajar yang efektif.
a. Pengajaran Perbaikan
Pengajaran perbaikan merupakan suatu bentuk bantuan yang diberikan kepada seorang atau sekelompok siswa yang menghadapi masalah belajar dengan maksud untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan dalam proses dan hasil belajar mereka. Dalam hal ini bentuk kesalahan yang paling pokok berupa kesalahpengertian, dan tidak menguasai konsep-konsep dasar. Apabila kesalahan-kesalahan itu diperbaiki, maka siswa mempunyai kesempatan untuk mencapai hasil belajar yang optimal.
b. Kegiatan Pengayaan
Kegiatan pengayaan merupakan suatu bentuk layanan yang diberikan kepada seorang atau beberapa orang siswa yang sangat cepat dalam belajar. Mereka memerlukan tugas-tugas tambahan yang terencana untuk menambah memperluas pengetahuan dan keterampilan yang telah dimilikinya dalam kegiatan belajar sebelumnya. Siswa-siswa seperti ini sering muncul dalam kegiatan pelajaran dengan menggunakan sistem pengajaran yang terencana secara baik. Misalnya, sistem pengajaran dengan modul, paket belajar, dan pengajaran yang berprogram lainnya. Siswa yang amat cepat belajar hampir selalu dapat mengerjakan tugas-tugas lebih cepat dari rekan-rekan mereka dalam waktu yang ditetapkan.
c. Peningkatan Motivasi Belajar
Apabila kepada siswa ditanyakan mengapa mereka belajar, maka akan diperoleh berbagai jawaban. Si Ani mungkin mengatakan ia belajar karena ingin pandai. Si Badrun mungkin mengatakan ia belajar karena ingin lulus dalam ujian.
Guru konselor dan staf sekolah lainnya berkewajiban membantu siswa meningkatkan motivasinya dalam belajar. Prosedur-prosedur yang dapat dilakukan adalah dengan :
1) Memperjelas tujuan-tujuan belajar. Siswa akan terdorong untuk lebih giat belajar apabila ia mengetahui tujuan-tujuan atau sasaran yang hendak dicapai.
2) Menyesuaikan pengajaran dengan bakat, kemampuan dan minat siswa
3) Menciptakan suasana pembelajaran yang menantang, merangsang dan menyenangkan.
4) Memberikan hadiah (penguatan) dan hukuman bilamana perlu*)
5) Menciptakan suasana hubungan yang hangat dan dinamis antara guru dan murid, serta antara murid dan murid.
6) Menghindari tekanan-tekanan dan suasana yang tidak menentu (seperti suasana yang menakutkan, mengecewakan, membingungkan, menjengkelkan).
d. Pengembangan Sikap dan Kebiasaan Belajar yang Efektif
Setiap siswa diharapkan menerapkan sikap dan kebiasaan belajar yang efektif. Tetapi tidak tertutup kemungkinan ada siswa yang mengamalkan sikap dan kebiasaan yang tidak diharapkan dan tidak efektif. Apabila siswa memiliki sikap dan kebiasaan seperti itu, maka dikhawatirkan siswa yang bersangkutan tidak akan mencapai hasil belajar yang baik, karena hasil belajar yang baik itu diperoleh melalui usaha atau bahkan perjuangan yang keras.
Prinsip-prinsip belajar, antara lain :
1) Belajar berarti melibatkan diri secara penuh, lebih dari sekedar membaca bahan-bahan yang tercetak dalam buku-buku teks.
2) Efisiensi belajar akan meningkat apabila perbuatan belajar itu didasarkan atas rencana atau tujuan yang nyata dan hasil dapat diukur.
3) Kata-kata, ungkapan-ungkapan, dan kalimat-kalimat yang ada dalam bahan yang dipelajari baru dibaca dengan penuh pengertian.
4) Sebagian bahan belajar hanya dapat dipelajari dengan baik kalau menggunakan seluruh metode belajar.
5) Belajar dalam suasana terpaksa tidak memberikan harapan besar untuk berhasil dengan baik.
6) Untuk dapat melaksanakan kegiatan dan mencapai hasil belajar yang baik diperlukan adanya suasana hati yang aman, kesehatan yang baik, tidur teratur, dan rekreasi yang memadai.
Lebih jauh, sikap dan kebiasaan belajar yang baik tidak tumbuh secara kebetulan, melainkan sering kali perlu ditumbuhkan melalui bantuan yang terencana, terutama oleh guru-guru konselor, dan orang tua siswa. Untuk itu siswa hendaklah dibantu dalam hal :
1) Menemukan motif-motif yang tepat dalam belajar
2) Memelihara kondisi kesehatan yang baik
3) Mengatur waktu belajar, baik di sekolah maupun di rumah
4) Memilih tempat belajar yang baik
5) Belajar dengan menggunakan sumber belajar yang kaya, seperti buku-buku teks dan referensi lainnya.
6) Membaca secara baik dan sesuai dengan kebutuhan, misalnya kapan membaca secara garis besar, kapan secara terinci, dan sebagainya.
7) Tidak segan-segan bertanya untuk hal-hal yang tidak diketahui kepada guru, teman atau siapapun juga.
Berdasarkan hasil-hasil pengungkapan kelemahan dan kekuatan siswa dengan mempergunakan instrumen/prosedur di atas, konselor dan guru merancang layanan bimbingan belajar bagi siswa yang memerlukannya, baik layanan individual maupun kelompok, baik dalam bentuk penyajian klasikal, kegiatan kelompok belajar, bimbingan/konseling kelompok atau individual, ataupun kegiatan lainnya. Dalam pelaksanaannya peranan konselor dan guru masing-masing atau bersama-sama tergantung pada materi layanan. Layanan yang materinya lebih banyak menyangkut penguasaan bahan pelajaran (seperti pengajaran perbaikan dana kegiatan pengayaan) menutut peranan guru lebih besar, sedangkan pelayanan yang menuntut pengembangan motivasi, minat, sikap dan kebiasaan belajar menuntut lebih banyak peranan konselor. Keadaan yang lebih dikehendaki ialah apabila kedua pihak selalu bahu-membahu meningkatkan kemampuan siswa belajar, baik di sekolah maupun di luar sekolah.
E. Layanan Konseling Perorangan
Pada bagian-bagian terdahulu konseling telah banyak disebut. Pada bagian ini konseling dimaksudkan sebagai pelayanan khusus dalam hubungan langsung tatap muka antara konselor dan klien. Dalam hubungan itu masalah klien dicermati dan diupayakan pengentasannya, sedapat-dapatnya dengan kekuatan klien sendiri. Dalam kaitan itu, konseling dianggap sebagai upaya layanan yang paling utama dalam pelaksanaan fungsi pengentasan masalah klien. Bahkan dikatakan bahwa konseling merupakan “jantung hatinya” pelayanan bimbingan secara menyeluruh.
Implikasi lain pengertian “jantung hati” itu ialah, apabila seorang konselor telah menguasai dengan sebaik-baiknya apa, mengapa dan bagaimana pelayanan konseling itu (dalam arti memahami, menghayati, dan menerapkan wawasan, pengetahuan dan keterampilan dengan berbagai teknik dan teknologinya), maka dapat diharapkan ia akan dapat menyelenggarakan layanan-layanan bimbingan lainnya dengan tidak mengalami banyak kesulitan. Hal itu dapat dimengerti karena, layanan konseling yang tuntas telah mencakup sebagian fungsi-fungsi pemahaman. Di samping itu, perlu dipahami pula bahwa “konseling multidimensional”, sebagaimana telah disebut terdahulu, menjangkau aspek-aspek yang lebih luas dari pada apa yang muncul pada saat wawancara konseling. Isi konseling menyangkut berbagai segi kehidupan dan perkembangan klien yang mungkin perlu dikaitkan pada layanan-layanan orientasi dan informasi, penempatan dan penyaluran, serta bimbingan belajar.
1. Layanan Konseling Diselenggarakan Secara “Resmi”
Konseling merupakan layanan yang teratur, terarah, dan terkontrol, serta tidak diselenggarakan secara acak ataupun seadanya. Sasaran (subjek penerima layanan), tujuan, kondisi dan metodologi penyelenggaraan layanan telah digariskan dengan jelas. Sebagai rambu-rambu pokok dalam pelaksanaan layanan konseling, Munro dkk. (1979) mengemukakan tiga dasar etika konseling, yaitu (a) kerahasiaan, (b) keterbukaan, dan (c) tanggung jawab pribadi klien.
Di atas landasan sebagaimana telah diutarakan itu, sifat “resmi” layanan konseling ditandai dengan adanya ciri-ciri yang melekat pada pelaksanaan layanan itu, yaitu bahwa :
a. Layanan itu merupakan usaha yang disengaja
b. Tujuan layanan tidak boleh lain dari pada untuk kepentingan dan kebahagiaan klien.
c. Kegiatan layanan diselenggarakan dalam format yang telah ditetapkan
d. Metode dan teknologi dalam layanan berdasar teori yang telah teruji.
e. Hasil layanan dinilai dan diberi tindak lanjut.
Sebagaimana telah dikemukakan di depan, tujuan konseling umum bimbingan dan konseling adalah pemeliharaan dan pengembangan diri klien seutuhnya. Kepentingan dan kebahagiaan klien yang menjadi arah layanan konseling secara langsung mengacu kepada pemeliharaan dan pengembangan klien itu. Apa pun yang muncul dalam layanan bimbingan dan konseling harus diarahkan pada tujuan tersebut; dan apa pun yang menjadi persepsi, sikap dan tindakan konselor harus berorientasi pada tujuan positif bagi klien itu. Lebih jauh, sebuah kondisi yang terbangun selama hubungan konseling berlangsung dan berbagai kemungkinan implikasinya, baik ditinjau dari sisi klien, konselor, maupun kondisi hubungan itu sendiri, tidak lain adalah untuk kepentingan dan kebahagiaan klien.
Format apa pun yang terbentuk, standar atau hasil modifikasi efek yang diharapkan dari terbentuknya format itu adalah :
a. Konselor sepenuhnya menghadapi (dan mencurahkan perhatian kepada) klien; dan sebaliknya klien dapat sepenuhnya memperhatikan konselor dalam hal ini baik klien maupun konselor menyediakan diri dalam kondisi transparan (tidak ada yang ditutup-tutupi).
b. Klien benar-benar melihat dan merasakan bahwa konselor dalam “sikap sempurna” selalu memperhatikan (dalam arti positif) diri klien dan permasalahannya.
c. Suara, mimik dan gerak-gerik klien dan konselor jelas ditangkap oleh pihak lainnya.
d. Klien dan konselor mudah bergerak
e. Klien dan konselor merasa dekat satu sama lain, sambil tetap menjaga jarak.
Format hubungan konseling yang diterapkan oleh seorang konselor boleh jadi tidak sama untuk semua kliennya. Format standar dan berbagai modifikasinya dipakai secara bervariasi sesuai dengan kondisi klien, kondisi sosial budaya, kondisi ruang dan peralatan yang ada, dan kondisi konselor sendiri.
2. Pengentasan Masalah Melalui Konseling
Melalui konseling klien mengharapkan agar masalah yang dideritanya dapat dientaskan. Langkah-langkah umum upaya pengentasan masalah melalui konseling pada dasarnya adalah :
a. Pemahaman masalah;
b. Analisis sebab-sebab timbulnya masalah;
c. Aplikasi metode khusus;
d. Evaluasi;
e. Tindak lanjut.
Kegiatan pengenalan dan pemahaman masalah secara umum telah dibahas pada bagian terdahulu. Dalam konseling klien dan konselor harus benar-benar memahami masalah yang dihadapi klien, sedapat-dapatnya secara lengkap dan rinci. Pemahaman masalah oleh klien harus benar-benar persis sama dengan pemahaman konselornya dan objektif sebagaimana adanya masalah itu. Hal itu perlu justru untuk menjamin ketetapan, efektivitas, dan efisiensi proses konseling. Upaya pemahaman masalah itu biasanya dilakukan pada awal proses konselor di luar proses konseling (misalnya melalui laporan pihak ketiga, dan dalam cumulative record, keterangan dari klien sendiri dalam proses konseling. Konselor tidak seyogyanya meyakini kebenaran suatu pendapat konselor sendiri, apalagi pendapat atau keterangan dari pihak ketiga, tentang klien dan permasalahannya, sebelum dicetak terlebih dahulu kepada klien yang bersangkutan.
Hubungan konseling adalah hubungan pribadi yang terbuka dan dinamis antara klien dan konselor. Hubungan ini ditandai oleh adanya kehangatan, kebebasan dan suasana yang memperkenalkan klien menampilkan diri sebagaimana adanya. Dalam proses konseling tidak ada kata-kata seperti “Anda salah”, “harus begini atau begitu”, “tidak boleh begini atau begitu”, “kok sampai begitu”, atau kata-kata yang mencemooh, merendahkan atau menyesalkan, menilai negatif atau menyalahkan, atau kata-kata yang mencela dan bermakna negatif lainnya. Sebaliknya, juga tidak ada kata-kata seperti “semua terserah Anda”, yang akan menanggung risiko kan Anda sendiri”, “saya tidak mau mencampuri urusan Anda” atau kata-kata yang sebenarnya palsu, seperti “Anda sebenarnya memang hebat”, “Anda dapat menyelesaikan semua urusan sendiri”, “anda sebenarnya tidak memerlukan bantuan”, “Anda tidak berdosa”, “Anda tidak perlu menyesali diri sendiri” dan sebagainya. Contoh-contoh tersebut sengaja dikemukakan untuk menekankan betapa pentingnya isi dan suasana wawancara konseling itu. Setiap kata yang dilancarkan dan diluncurkan oleh konselor hendaknya benar-benar tepat dan benar-benar mengenai permasalahannya, dapat menggugah hati serta pikiran klien, tanpa menimbulkan reaksi-reaksi negatif pada diri klien (seperti ragu-ragu, cemas, perasaan tersinggung, bangga yang berlebihan atau sombong, sikap mempertahankan diri, masa bodoh, dan lain sebagainya). Wawancara konseling bukanlah pembicaraan biasa, melainkan dialog teraputik untuk membantu klien.
Terpahaminya masalah klien dengan baik serta tergugahnya hati dan pikiran klien belum tentu serta merta membuahkan hasil terpecahkannya masalah. Dalam hal ini proses konseling masih perlu dilanjutkan dengan penerapan metode khusus sesuai dengan rincian masalah dan sumber-sumber penyebabnya. Metode-metode khusus bervariasi dari pengembangan penalaran dan kata hati, peneguhan hasrat untuk mencapai tujuan tertentu (dalam rangka pemecahan masalah), latihan merencana suatu kegiatan, pemberian contoh, latihan bersikap dan bertindak, desensitisasi, sampai dengan penerapan program-program komputer dalam konseling (Brammer & Shostrom, 1982). Penerapan metode khusus ini menjadikan proses konseling tidak semata-mata berdimensi verbal melainkan berkembang menjadi proses multi-dimensional sebagaimana pernah disinggung pada bab terdahulu.
Upaya evaluasi dalam proses diakhiri dengan “evaluasi akhir proses” Konselor dapat meminta klien menyampaikan kesan-kesan dan perasaannya terhadap proses konseling yang baru saja dijalaninya, hal-hal apa yang sudah dan belum ia peroleh, dan harapan-harapannya, khususnya dengan masalah yang dihadapinya. Hasil evaluasi akhir ini dapat pula dikaitkan dengan rencana lebih lanjut klien, termasuk di dalamnya kemungkinan penerapan hasil-hasil konseling (seperti beberapa alternatif tindakan untuk mencapai tujuan, latihan-latihan bertingkah laku) dalam kehidupan* sehari-hari, dan konseling lebih lanjut.
Evaluasi pasca proses konseling biasanya lebih sukar dilakukan, lebih-lebih dengan klien-klien yang berada di luar lembaga tempat konselor bekerja. Konselor sukar menjangkau mereka sehingga evaluasi sistematik sukar dilakukan. Evaluasi insidentil dapat berlangsung apabila konselor bertemu mereka dan menanyakan dampak konseling yang pernah terlaksana, atau melalui pihak ketiga yang mengenal klien. Evaluasi seperti ini derajat kesahihan dan keterandalannya tidak cukup tinggi atau bahkan diragukan. Untuk klien-klien yang berada dalam lembaga tempat konselor bekerja evaluasi pasca proses lebih mungkin dilaksanakan; apalagi kalau untuk mereka disediakan program pelayanan yang terjadwal sehingga antara klien dan konselor dapat diatur pertemuan berkala. Evaluasi melalui instrumen tertulis (misalnya angket) juga dapat dilakukan. Hasil evaluasi itu dipakai sebagai masukan dan bahan pertimbangan baik bagi rencana tindak lanjut yang akan dilaksanakan dalam pertemuan terjadwal dengan masing-masing klien, maupun bagi penyusutan program-program pelayanan periode-periode berikutnya.
3. Tahap-tahap Keefektifan Pengentasan Masalah Melalui Konseling
Sangat diinginkan oleh semua pihak bahwa proses tahap konseling dapat memberikan hasil yang sebesar-besarnya untuk menunjang perkembangan dan kehidupan klien pada umumnya, dan khususnya untuk mengentaskan masalah klien. Keefektifan pengentasan masalah melalui konseling sebenarnya dapat dideteksi sejak awal klien mengalami masalah. Dari keadaan yang paling awal itu sampai konseling yang paling efektif akhir nantinya pada waktu masalah klien terentaskan, dapat diidentifikasi lima tahap. Dengan memperhatikan tahap-tahap tersebut akan terlihat apakah klien sejak awalnya sampai dengan akhirnya memang menjalani tahap-tahap yang mengarahkan dirinya untuk mencapai keadaan terentaskan masalahnya. Atau sebaliknya, ia berhenti pada suatu tahap dan tidak melanjutkannya ke tahap berikutnya, sehingga keefektifan pengentasan masalah tidak meningkatkan kepada taraf keefektifan yang lebih tinggi.
Namun keefektifan konseling tidak dapat begitu saja. Klien dituntut untuk aktif dalam proses konseling. Keaktifan klien inilah yang justru menentukan tahap keempat keefektifan konseling, dan partisipasi aktif klien itulah yang merupakan keefektifan konseling. Partisipasi aktif klien itu diharapkan dapat terselenggara dari awal proses konseling sampai konseling itu dinyatakan berakhir. Setelah berakhirnya proses konseling, pertanyaan yang masih tersisa ialah, apakah konseling itu telah memberikan hasil yang benar-benar efektif? Pertanyaan itu mengacu pada tahap keefektifan konseling yang kelima. Konseling yang telah terselenggara itu benar-benar efektif apabila klien benar-benar menjalankan (menerapkan) hasil-hasil yang telah dicapai melalui konseling dalam kehidupan sehari-hari klien. Dengan kata lain, hasil konseling itu benar-benar mengubah tingkah laku klien, dan dengan demikian masalah klien secara berangsur-angsur teratasi.
Kelima tahap keefektifan konseling itu dapat digambarkan melalui diagram sebagai berikut (Diagram 1).
5
4
3
2
1
Diagram 2
Lima Tahap Keefektifan Konseling
Catatan : Sering kali individu datang kepada konselor tanpa memahami masalah yang sebenarnya ada pada dirinya. Pemahaman masalah baru terjadi dalam proses konseling.
4. Pendekatan dan Teori Konseling
Pada Bab V telah disinggung sedikit tentang adanya sejumlah teori konseling. Apabila dititik lebih lanjut teori-teori tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan ke dalam tiga pendekatan, yaitu pendekatan konseling direktif, konseling non-direktif dan konseling elektrik. Pendekatan-pendekatan itu terutama pendekatan direktif dan non-direktif, masing-masing memiliki pandangan yang berbeda, bahkan di sana-sini bertolak belakang, terutama tentang hakikat tingkah laku individu dan timbulnya masalah. Perbedaan-perbedaan tersebut mengakibatkan timbulnya perbedaan-perbedaan dalam teknik-teknik konseling yang secara langsung diterapkan terhadap klien.
a. Konseling Direktif
Konseling direktif berlangsung menurut langkah-langkah umum sebagai berikut :
1) Analisis data tentang klien
2) Pensintesisan data untuk mengenali kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan klien.
3) Diagnosis masalah
4) Prognosis atau prediksi tentang perkembangan masalah selanjutnya
5) Pemecahan masalah
6) Tindak lanjut dan peninjauan hasil-hasil konseling
Upaya pemecahan masalah didasarkan pada hasil diagnosis yang pada umumnya berbentuk kegiatan yang langsung ditujukan pada pengubahan tingkah laku klien.
b. Konseling Non-Direktif
Konseling non-direktif sering juga disebut “Client Centered Therapy”. Pendekatan ini diperoleh oleh Carl Rogers dari Universitas Wisconsin di Amerika Serikat. Konseling non-direktif merupakan upaya bantuan pemecahan masalah yang berpusat pada klien. Melalui pendekatan ini, klien diberi kesempatan mengemukakan persoalan, perasaan dan pikiran-pikirannya secara bebas. Pendekatan ini berasumsi dasar bahwa seseorang yang mempunyai masalah pada dasarnya tetap memiliki potensi dan mampu mengatasi masalahnya sendiri. Tetapi oleh karena sesuatu hambatan, potensi dan kemampuannya itu tidak dapat berkembang atau berfungsi sebagaimana mestinya. Untuk mengembangkan dan memfungsikan kembali kemampuannya itu klien memerlukan bantuan. Bertitik tolak dari anggapan dan pandangan tersebut, maka dalam konseling, inisiatif dan peranan utama pemecahan masalah diletakkan di pundak klien sendiri. Sedangkan kewajiban dan peranan utama konselor adalah menyiapkan suasana agar potensi dan kemampuan yang ada pada dasarnya ada pada diri klien itu berkembang secara optimal, dengan jalan menciptakan hubungan konseling yang hangat dan permisif. Suasana seperti itu akan memungkinkan klien mampu memecahkan sendiri masalahnya. Dalam suasana seperti itu konselor merupakan “agen pembangun” yang mendorong terjadinya perubahan pada diri klien tanpa konselor sendiri banyak masuk dan terlibat langsung dalam proses perubahan tersebut. Menurut Rogers, adalah menjadi tanggung jawab klien untuk membantu dirinya sendiri. Salah satu prinsip yang penting dalam konseling non-direktif adalah mengupayakan agar klien mencapai kematangannya, produktif, merdeka dan dapat menyesuaikan diri dengan baik.
c. Konseling Elektrik
Pendekatan dan teori-teori konseling itu telah ditempa dan dikembangkan oleh pencetus dan ahlinya, dan telah dipelajari oleh berbagai kalangan dalam bidang bimbingan dan konseling. Disadari bahwa setiap pendekatan atau teori itu mengandung kekuatan dan kelemahan, namum semuanya telah menyumbang secara positif pada dunia bimbingan dan konseling, baik secara teoritis maupun secara praktis. Disadari pula bahwa dalam kenyataan praktek konseling menunjukkan bahwa tidak semua masalah dapat dientaskan secara baik hanya dengan satu pendekatan atau teori saja. Ada masalah yang lebih cocok diatasi dengan pendekatan direktif, dan ada pula yang lebih cocok dengan pendekatan non-direktif atau dengan teori khusus tertentu. Dengan pendekatan lain, tidaklah dapat ditetapkan bahwa setiap masalah harus diatasi dengan salah satu pendekatan atau teori saja. Pendekatan atau teori mana yang cocok digunakan sangat ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain :
1) Sifat masalah yang dihadapi (misalnya tingkat kesulitan dan kekompleksannya).
2) Kemampuan klien dalam memainkan peranan dalam proses konseling.
3) Kemampuan konselor sendiri, baik pengetahuan maupun keterampilan dalam menggunakan masing-masing pendekatan atau teori konseling. Mereka yang mempelajari pendekatan dan teori-teori itu mungkin ada yang tertarik dan merasa dirinya lebih cocok untuk mendalami dan mempraktekkan satu pendekatan atau teori konseling tertentu saja, dan mungkin ada pula yang berusaha “menggabungkan” dan-tiga teori yang berdekatan dalam wilayah garis kontinum yang dimaksudkan di atas. Kebanyakan diantara mereka bersikap elektrik yang mengambil berbagai kebaikan dari kedua pendekatan ataupun dari berbagai teori konseling yang ada itu, mengembangkan dan menerapkannya dalam praktek sesuai dengan permasalahan klien. Sikap elektrik ini telah ada sejak lama dan bahkan dianggap lebih tepat dan sesuai dengan filsafat atau tujuan bimbingan dan konseling daripada sikap yang hanya mengandalkan satu pendekatan atau satu-dua teori tertentu saja (Tolbert, 1959; Hansen, dkk., 1977; dan Brammer & Shostrom, 1982).
5. Konseling di Lingkungan Kerja yang Berbeda
a. Konseling di Sekolah Dasar
Sasaran layanan konseling di SD adalah anak-anak yang masih sangat muda. Barangkali masih ada yang beranggapan bahwa anak0anak yang masih sangat muda jarang yang mengalami masalah sehingga layanan konseling sebenarnya tidak diperlukan di SD. Untuk mereka yang berpendapat seperti itu perlu diingatkan bahwa perkembangan dan kehidupan itu penuh dengan tantangan; tidak peduli tua ataupun muda, setiap individu yang berkembang dan hidup pasti selalu menghadapi tantangan. Di samping itu perlu digarisbawahi pula bahwa masalah-masalah yang ternyata sudah muncul perlu dientaskan seawal, sesegera, secepat, dan setepat mungkin. Oleh karena itu, pelayanan bimbingan dan konseling pada umumnya, dan layanan konseling khususnya tetap sangat diperlukan bagi mereka yang masih sangat muda sekalipun.
Aspek-aspek lain juga muncul dalam layanan konseling di SD. Karena anak-anak SD menurut kenyataannya masih amat tergantung pada orang tua dan guru, maka peningkatan keterampilan berkomunikasi, sikap dan perilaku orang tua dan guru terhadap anak-anak merupakan layanan pokok yang justru lebih mendasar dari pada layanan konseling dalam arti konsultasi dalam bentuk hubungan tatap muka antara konselor dan klien (Dinkmeyer, Frust, Linduquist dan Chamley dalam Nugent, 1981). Dibanding dengan layanan konseling perorangan, layanan konseling kelompok agaknya lebih mungkin dilaksanakan dengan anak-anak SD.
Hal lain lagi yang perlu mendapat perhatian konselor ialah bagaimana mendorong anak-anak untuk datang kepada konselor untuk memperoleh layanan bimbingan. Nogent (1981) melihat empat sumber yang memungkinkan alih tangan anak-anak kepada konselor, yaitu guru, kepala sekolah, anak-anak itu sendiri, dan konselor sendiri. Guru-guru adalah orang-orang yang paling banyak bergaul dan memperhatikan segenap tingkah laku anak-anak sehari-hari di sekolah. Sikap dan kebiasaan masing-masing anak belajar, hubungan sosial mereka satu sama lain, sampai dengan tingkah laku yang menyimpang, seperti nakal, mencuri dan sebagainya teramati oleh guru. Kekuatan dan kelemahan anak-anak dapat diketahui secara langsung oleh guru. Anak-anak yang memerlukan bantuan konselor, oleh guru dapat secara langsung diahlihtangankan kepada konselor.
Konselor sendiri juga merupakan figur yang penting sebagai sumber alih tangan. Konselor yang aktif, yang menunjukkan banyak perhatian dan sering berhubungan dengan anak, yang sering menampilkan diri di hadapan anak-anak dan sering menciptakan suasana dan melakukan kegiatan yang menyenangkan dan menguntungkan bagi anak-anak, akan dirasakan dekat oleh anak-anak dan besar kemungkinan akan banyak dikunjungi oleh anak-anak itu. Hubungan baik antara konselor dengan murid, ditambah dengan pemahaman yang cukup baik dari anak-anak tentang fungsi dan peranan konselor yang dapat diberikan kepada mereka, akan banyak menentukan frekuensi dan intensitas pemanfaatan jasa konseling oleh anak-anak di SD.
b. Konseling di Sekolah Menengah
Siswa sekolah menengah berbeda dari murid SD. Mereka berada pada tahap perkembangan remaja yang merupakan transisi dari masa anak-anak ke dewasa. Banyak gejolak menandai masa perkembangan remaja itu. Konselor di sekolah menengah dituntut untuk memahami berbagai gejolak yang secara potensial sering muncul itu dan cara-cara penanganannya. Bentuk-bentuk permasalahan khusus seperti masalah hubungan muda-mudi, masalah perkembangan seksual, masalah sosial dan ekonomi, masalah masa depan banyak muncul di antara para remaja itu.
Pendekatan dan teknik-teknik konseling dalam berbagai bentuknya dapat dipakai terhadap para pemuda yang sudah lebih berkembang dari pada anak-anak SD itu. Aplikasi pendekatan dan teknik konseling serta penyesuaiannya banyak tergantung pada keunikan klien dan masalahnya, serta spesialisasi keahlian konselor sendiri. Tentang sumber alih tangan klien, sama dengan yang telah diuraikan terdahulu, yaitu sangat mengandalkan pada peranan guru, kepala sekolah, siswa dan konselor sendiri, serta orang tua. Kehadiran konselor langsung dihadapan para siswa (di muka kelas dan pada kesempatan-kesempatan lain), disertai dengan informasi yang tepat dan mantap tentang fungsi konselor dan pelayanan bimbingan dan konseling pada umumnya, akan sangat membantu peningkatan pemanfaatan layanan konseling oleh para siswa.
c. Konseling di Perguruan Tinggi
Perbedaan antara konseling di sekolah menengah dan di perguruan tinggi diwarnai oleh arah perkembangan dan tujuan-tujuan yang hendak dicapai serta kekompleksan program pendidikan dan latihan di kedua jenjang pendidikan itu. Apabila di sekolah menengah para siswa belum akan segera dituntut untuk bekerja atau terjun di masyarakat, maka para mahasiswa sudah berada pada batas antara “hidup tergantung pada orang tua” dan “hidup bebas dan mandiri”. Disamping itu, para siswa di sekolah menengah mengalami proses pembelajaran yang secara relatif lebih terbimbing dari pada para mahasiswa di perguruan tinggi; proses pembelajaran di perguruan tinggi lebih bervariasi dan menuntut kemandirian mahasiswa.
Praktek pelaksanaan konseling di perguruan tinggi tidak banyak berada dari pada pelaksanaannya di sekolah menengah. Penekanan pada kondisi akademik dan kemandirian mewarnai pelaksanaan konseling. Sumber alih tangan klien lebih banyak ditekankan pada keadaan mahasiswa sendiri. Oleh karena itu permasyarakatan pelayanan bimbingan dan konseling dan peranan konselor lebih perlu diperluas melalui berbagai media yang ada di kampus. Unit pelayanan bimbingan dan konseling yang ada perlu bekerja sama dengan unit-unit yang langsung berhubungan dengan mahasiswa; pertama, untuk ikut serta memasyarakatkan pelayanan bimbingan dan konseling, dan kedua, untuk menjadi “agen alih tangan”.
d. Konseling di Masyarakat
Dipandang dari segi masalah klien serta pendekatan dan teknik konseling, layanan konseling di masyarakat (di luar satuan pendidikan formal) tidak berbeda dari layanan di satuan pendidikan. Jika terdapat perbedaan, maka hal itu terletak pada kondisi lembaga tempat konselor bekerja. Layanan konseling dapat diselenggarakan di lembaga tertentu, seperti lembaga kerja (perusahaan, kantor, pabrik), lembaga kemasyarakatan, Lembaga Bantuan Hukum, Puskesmas, “Badan Penasihat Perkawinan”, “Lembaga Kesehatan Masyarakat”, “Biro Konsultasi” dan berbagai lembaga swadaya masyarakat lainnya. Tidak dilupakan, konselor yang membuka “praktek pribadi”. Semua “lembaga” tempat konselor berpraktek layanan konseling menerapkan nilai-nilai sendiri yang harus diikuti oleh konselor.
F. Layanan Bimbingan dan Konseling Kelompok
Apabila konseling perorangan menunjukkan layanan kepada individu atau klien orang-perorangan, maka bimbingan dan konseling kelompok mengarahkan layanan kepada sekelompok individu. Dengan satu kali kegiatan, layanan kelompok itu memberikan manfaat atau jasa kepada sejumlah orang. Kemanfaatan yang lebih meluas inilah yang paling menjadi perhatian semua pihak berkenaan dengan layanan kelompok itu. Apalagi pada zaman perlunya efisiensi, perlunya perluasan pelayanan jasa yang mampu menjangkau lebih banyak konsumen secara tepat dan cepat, layanan kelompok semakin menarik. Bahkan Larrabee & Terres (1984) meramalkan bahwa pada tahun 2004 layanan konseling kelompok mendominasi segenap upaya pelayanan bimbingan dan konseling. Pada waktu itu dunia dan masyarakat sudah sangat terbuka, lembaga-lembaga kemasyarakatan, sekolah dan keluarga juga sangat terbuka; arus informasi dan mobilitas penduduk semakin deras; segala macam kebutuhan semakin meningkat baik jenis maupun intensitasnya—hal itu semua mengakibatkan semakin banyak orang memerlukan bimbingan dan konseling yang tepat dalam waktu yang relatif cepat. Jawaban terhadap tantangan itu ialah konseling kelompok.
1. Ciri-ciri Kelompok
Meskipun suatu kelompok terdiri dari sejumlah orang, tetapi kelompok bukan sekedar kumpulan sejumlah orang. Sejumlah orang yang berkumpul itu baru merupakan “lahan” bagi terbentuknya kelompok. Beberapa unsur perlu ditambahkan apabila kumpulan sejumlah orang itu hendak menjadi sebuah kelompok. Unsur-unsur tersebut yang paling pokok menyangkut tujuan, keanggotaan dan kepemimpinan, serta aturan yang diikuti.
Selanjutnya, kelompok yang sudah memiliki tujuan, anggota dan pemimpin itu tidaklah lengkap apabila belum memiliki aturan dalam melaksanakan kegiatan-kegiatannya. Tanpa aturan itu pemimpin kelompok tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik, kegiatan anggota tidak terarah, atau akan terjadi kesimpangsiuran, atau bahkan benturan dan kekacauan, yang semuanya akan mengakibatkan tujuan bersama tidak tercapai. Dengan demikian, jelaslah bahwa suatu kelompok membutuhkan aturan, nilai-nilai atau pedoman yang memungkinkan seluruh anggota bertindak dan mengarahkan diri bagi pencapaian tujuan-tujuan yang mereka kehendaki.
Keempat unsur terbentuknya kelompok tersebut berlaku untuk semua jenis kelompok, baik ditinjau dari sejumlah anggota maupun sifat dan tujuan terbentuknya kelompok. Menurut jumlah anggotanya dikenal adanya kelompok dua (yang terdiri dari dua orang), kelompok tiga dan seterusnya; kelompok kecil (beranggotakan 2-5 orang), kelompok sedang (6-15 orang), dan seterusnya sampai dengan kelompok “raksasa” yang jumlah anggotanya ratusan ribu orang. Menurut sifat pembentukannya dikenal adanya kelompok primer (misalnya satuan keluarga) dan kelompok sekunder, yaitu kelompok yang dibentuk secara sengaja untuk tujuan-tujuan tertentu (misalnya kelompok belajar, kelompok murid dalam satu kelas), kelompok organisasi pemuda, dan lain-lain.). kombinasi karakteristik kelompok itu (jumlah, sifat, dan tujuan pembentukannya) dapat terpadu dalam satu kelompok. Kelompok apapun yang terbentuk menurut adanya unsur-unsur tujuan bersama, keanggotaan dan kepemimpinan, serta aturan.
2. Bimbingan Kelompok
Bimbingan kelompok adalah layanan bimbingan yang diberikan dalam suasana kelompok. Gazda (1978) mengemukakan bahwa bimbingan kelompok di sekolah merupakan kegiatan informasi kepada sekelompok siswa untuk membantu mereka menyusun rencana dan keputusan yang tepat. Gazda juga menyebutkan bahwa bimbingan kelompok diselenggarakan untuk memberikan informasi yang bersifat personal, vokasional dan sosial. Telah lama dikenal bahwa berbagai informasi berkenaan dengan orientasi siswa baru, pindah program dan peta sosiometri siswa serta bagaimana mengembangkan hubungan antar siswa dapat disampaikan dan dibahas dalam bimbingan kelompok (McDaniel, 1956). Dengan demikian jelas bahwa kegiatan dalam bimbingan kelompok ialah pemberian informasi untuk keperluan tertentu bagi para anggota kelompok.
Dari gambaran di atas tampak adanya beberapa hal yang menunjukkan homogenitas dalam kelompok. Pertama, bimbingan kelompok para anggota kelompok homogen (yaitu siswa-siswa satu kelas atau satu tingkat kelas yang sama). Kedua, “masalah” yang dialami oleh semua anggota kelompok adalah sama, yaitu memerlukan informasi yang akan disajikan itu. Ketiga, Tindak lanjut dari diterimanya informasi itu juga sama, yaitu untuk menyusun rencana dan membuat keputusan. Dan keempat, reaksi atau kegiatan yang dilakukan oleh para anggota dalam proses pemberian informasi (dan tindak lanjutnya) secara relatif sama (seperti mendengarkan, mencatat, bertanya). Ciri homogenitas inilah yang ikut menandai layanan bimbingan kelompok dan membedakannya dari konseling kelompok.
3. Konseling Kelompok
Unsur-unsur konseling perorangan tampil secara nyata dalam konseling kelompok. Kalau demikian adanya, apa yang membedakan konseling kelompok dari konseling perorangan? Satu hal yang paling pokok ialah dinamika interaksi sosial yang dapat berkembang dengan intensif dalam suasana kelompok, yang justru tidak dapat dijumpai dalam konseling perorangan. Disitulah keunggulan konseling kelompok. Melalui dinamika interaksi sosial yang terjadi diantara anggota kelompok, masalah yang dialami oleh masing-masing individu anggota kelompok dicoba untuk dientaskan. Peranan konselor sebagai “agen pembangunan” dalam konseling perorangan diperkuat oleh peranan dinamika interaksi sosial dalam suasana kelompok. Dengan demikian, proses pengentasan masalah individu dalam konseling kelompok mendapatkan dimensi yang lebih luas. Kalau dalam konseling perorangan klien hanya memetik manfaat dari hubungannya dengan konselor saja, dalam konseling kelompok klien memperoleh bahan-bahan bagi pengembangan diri dan pengentasan masalahnya biak dari konselor maupun rekan-rekan anggota kelompok. Lebih dari itu lagi, dinamika interaksi sosial yang secara intensif terjadi dalam suasana kelompok akan meningkatkan kemampuan berkomunikasi dan keterampilan sosial pada umumnya, meningkatkan kemampuan pengendalian diri, tenggang rasa atau teposaliro. Dalam kaitan itu suasana kelompok menjadi tempat penempaan sikap, keterampilan dan keberanian sosial yang bertenggang rasa (Prayitno, 1985).
Mengenai kondisi homogenitas heterogenitas yang terdapat di dalam konseling kelompok dapat dilihat bahwa anggota kelompok sedapat-dapatnya homogen, dalam arti semua anggota kelompok diharapkan dapat menyumbangkan sesuatu dalam pengembangan dinamik interaksi sosial yang terjadi di dalam kelompok. Untuk itu dikehendaki kemampuan para anggota yang seimbang. Dalam keadaan tertentu, konselor dapat menghadirkan seorang (atau lebih) klien tertentu ke dalam suasana konseling kelompok. “Klien khusus” ini dihadirkan di sana dengan tujuan untuk melibatkannya ke dalam interaksi sosial yang terjadi dalam kelompok, dan dengan keterlibatan yang intensif yang terjadi dalam kelompok, dan dengan keterlibatan yang intensif itu ia (atau mereka) diharapkan dapat memetik berbagai hal berkenaan dengan masalah-masalah yang ia atau mereka alami. “Tujuan khusus” untuk “klien khusus” itu tidak perlu disampaikan kepada anggota kelompok lainnya. Hal ini dimaksudkan agar dalam dinamika interaksi sosial “klien khusus” itu tidak diperlukan secara khusus. Mereka justru diberi kesempatan untuk menjalani keterlibatan sosial dalam kenyataan yang sebenarnya, tidak berpura-pura, dan tidak diatur secara tersendiri.
Untuk memasuki konseling kelompok para anggota atau klien pada awalnya tidak memerlukan persiapan tertentu. Dengan demikian masalah yang akan mereka bawa masing-masing ke dalam kelompok besar kemungkinan berbeda-beda; atau bahkan ada diatara mereka yang menurut kategori Bordin “tidak bermasalah”. Masalah-masalah yang dibawa oleh masing-masing anggota itu nantinya akan dikemukakan dalam kegiatan kelompok. Oleh karena itu akan muncul sejumlah masalah yang berbeda-beda yang akan dibicarakan melalui dinamika interaksi sosial dalam kelompok itu.
Satu hal yang perlu mendapat perhatian khusus, ialah sifat isi pembicaraan dalam konseling kelompok. Sebagaimana dalam konseling perorangan, konseling kelompok menghendaki agar para klien (para peserta) dapat mengungkapkan dan mengemukakan keadaan diri masing-masing sepenuh-penuhnya dan seterbuka mungkin. Dalam hal ini, asas kerahasiaan menjadi menonjol. Masing-masing klien perlu mempercayai konselor dan rekan-rekan mereka sesama anggota kelompok, bahwa kerahasiaan segenap apa yang mereka kemukakan terjamin sepenuhnya. Meyer dan Smith pada tahun 1977 melalui penelitiannya membuktikan bahwa kurangnya kepercayaan para anggota tentang terjaminnya kerahasiaan itu akan mengurangi sikap keterbukaan para anggota (dalam Davis, 1980). Selanjutnya, Davis sendiri mengungkapkan, berdasarkan hasil penelitiannya bahwa pernyataan konselor yang meyakinkan dihadapan segenap anggota kelompok bahwa ia benar-benar akan menjaga kerahasiaan seluruh anggota kelompok secara signifikan mempengaruhi kehendak dan sikap para anggota itu mengemukakan apa yang ingin dikemukakan di dalam kelompok itu. Lebih jauh, konselor juga harus membina semua anggota kelompok agar mereka menyadari pentingnya menjaga rahasia itu, dan agar mereka saling menjaga rahasia temannya, sehingga dengan demikian mereka saling mempercayai. Sikap konselor dan para anggota serta suasana yang sepenuhnya sejalan dengan asas kerahasiaan itu merupakan salah satu aturan yang khas harus diikuti oleh seluruh warga kelompok, dan hal itu merupakan ciri khusus pula dari konseling kelompok.
Dari gambaran tersebut tampak dengan jelas perbedaan antara bimbingan kelompok dan konseling kelompok, yaitu sebagai berikut :
Matrik 4
Perbandingan Antara Bimbingan Kelompok dan Konseling Kelompok
Aspek
Bimbingan Kelompok
Konseling Kelompok
1. Jumlah anggota
Tidak terlalu dibatasi; dapat sampai 60-80 orang.
Terbatas :
5-10 orang
2. Kondisi dan karakteristik anggota
Relatif homogen
Hendaknya homogen; dapat pula heterogen terbatas.
Aspek
Bimbingan Kelompok
Konseling Kelompok
3. Tujuan yang ingin dicapai
Penguasaan informasi untuk tujuan yang lebih luas.
a. Pemecahan masalah
b. Pengembangan kemampuan komunikasi dan interaksi sosial.
4. Pemimpin kelompok
Konselor dan narasumber
Konselor
5. Peranan anggota
Menerima informasi untuk tujuan kegunaan tertentu.
a. Berpartisipasi dalam dinamika interaksi sosial.
b. Menyumbang pengentasan masalah.
c. Menyerap bahan untuk pemecahan masalah.
6. Suasana interaksi
a. Menolong atau dialog terbatas.
b. Dangkal
a. Interaksi multiarah
b. Mendalam dengan melibatkan aspek emosional.
7. Sifat isi pembicaraan.
Tidak rahasia
Rahasia
8. Frekuensi kegiatan
Kegiatan berakhir apabila informasi telah disampaikan.
Kegiatan berkembang sesuai dengan tingkat kemajuan pemecahan masalah Evaluasi dilakukan sesuai dengan tingkat kemajuan pemecahan masalah.
G. Kegiatan Penunjang
Pelaksanaan berbagai jenis layanan bimbingan dan konseling memerlukan sejumlah kegiatan penunjang.
Agaknya memang benar apabila dikatakan bahwa alat dan kelengkapan yang paling handal dimiliki oleh konselor untuk menjalankan tugas-tugas pelayanannya ialah mulut dan berbagai keterampilan berkomunikasi, baik verbal maupun non-verbal. Namun, mengingat apa yang menjadi isi komunikasi itu menjangkau wawasan yang sedemikian luas dan “multi-dimensional”, serta harus sesuai dengan data dan kenyataan yang berkenaan dengan objek-objek yang dibicarakan, maka konselor perlu diperlengkapi dengan berbagai data, keterangan dan informasi , terutama tentang klien dan lingkungannya.
1. Instrumen Bimbingan dan Konseling
Ada beberapa pertimbangan yang perlu mendapat perhatian para konselor dalam penerapan instrumental bimbingan dan konseling. Antara lain adalah :
a. Instrumen yang dipakai haruslah yang sahih dan terandalkan. Pemilihan instrumen yang akan dipergunakan didasarkan atas ketepatan kegunaan dan tujuan yang hendak dicapai. Dalam hal ini Anastasi (1992) mengingatkan bahwa keefektifan penggunaan instrumen dalam konseling tergantung pada ketepatan pilihan instrumen yang akan dipakai berkenaan dengan individu (yang akan mengikuti tes) dan permasalahan yang sedang ditangani. Konselor dituntut memiliki wawasan yang memadai tentang kegunaan berbagai instrumen dalam kaitannya dengan karakteristik individu dan berbagai permasalahan.
b. Pemakai instrumen (dalam hal ini konselor) bertanggung jawab atas pemilihan instrumen yang akan dipakai (misalnya tee), monitoring pengadministrasiannya dan skoring, penginterpretasian skor dan penggunaannya sebagai sumber informasi bagi pengambilan keputusan tertentu (Anastasi, 1992). Adakalanya pemakai instrumen tidak mampu mengambil seluruh tanggung jawab tersebut; maka ia memerlukan penyelia ataupun konsultan. Dalam hal ini diingatkan oleh Anastasia bahwa instrumen hanyalah alat; baik-buruknya instrumen itu sebagai alat tergantung pada pemakaiannya.
c. Pemakaian instrumen, misalnya, harus dipersiapkan secara matang, bukan hanya persiapan instrumennya saja, tetapi persiapan klien yang akan mengambil tes itu. klien hendaknya memahami tujuan dan kegunaan tes itu dan bagaimana kemungkinan hasilnya. Bagi klien-klien yang secara khusus meminta tes, perlu diungkapkan mengapa ia merasa perlu di tes. Lebih jauh, klien itu juga dipersiapkan untuk menerima hasil tes sebagaimana adanya. Apabila hasil ternyata baik, bagaimana reaksi klien dan apa yang akan dilakukannya? Sebaliknya, apabila hasilnya ternyata tidak sebaik yang diharapkan, bagaimana pula reaksinya? Konselor perlu memperoleh kejelasan tentang alasan klien, dan apakah alasan yang dikemukakan itu dapat diterima. Konselor juga perlu membimbing klien agar nantinya dapat menerima hasil tes secara positif dan dinamis. Kalau hasilnya baik klien tidak menjadi sombong atau besar kepala, dan apabila hasilnya jelas tidak menjadi kecewa atau putus asa. Hasil apa pun yang dicapai hendaknya diterima sebagaimana adanya, dan menjadi pendorong bagi klien untuk berbuat dan berusaha lebih baik lagi untuk mencapai hasil yang lebih tinggi.
d. Perlu diingat bahwa tes atau instrumen apa pun hanya merupakan salah satu sumber dalam rangka memahami individu secara lebih luas dan dalam. Oleh karena itu pemahaman terhadap klien hendaknya tidak hanya didasarkan atas data tunggal, yang dihasilkan oleh tes semata-mata, melainkan harus dilengkapi dengan data lain dari sumber-sumber yang relevan sehingga gambaran tentang klien lebih bersifat komprehensif dan bermakna. Dalam kaitan ini, Mortensen & Schmuller (1976) mengingatkan bahwa kesalahan-kesalahan yang sering dilakukan oleh para petugas bimbingan dan konseling dimasa lampau adalah memaksakan pemahaman tingkah laku individu hanya berdasarkan pada hasil tes tunggal semata-mata, tanpa memahami secara menyeluruh keadaan individu itu dalam batas-batas perkembangan individualnya.
e. Ada dan dipergunakannya berbagai instrumen lainnya bukanlah syarat mutlak bagi pelaksanaan pelayanan bimbingan dan konseling. Tes dan berbagai instrumen itu sekedar alat bantu. Seperti telah dikemukakan di atas pemahaman tentang klien dan permasalahannya dapat dilaksanakan melalui wawancara dan dialog mendalam. Oleh karena itu, kekurangan ataupun ketiadaan instrumen hendaknya tidak merupakan penghambat bagi pelaksanaan bimbingan dan konseling (lihat kembali “kesalahpahaman tentang instrumentasi BK” pada Bab III).
1) Instrumen Tes
Secara umum kegunaan berbagai tes itu ialah membantu konselor dalam :
a) Memperoleh dasar-dasar pertimbangan berkenaan dengan berbagai masalah pada individu yang di tes, seperti masalah penyesuaian dengan lingkungan, masalah prestasi atau hasil belajar, masalah penempatan dan penyaluran;
b) Memahami sebab-sebab terjadinya masalah diri individu;
c) Mengenali individu (misalnya siswa di sekolah) yang memiliki kemampuan yang sangat tinggi dan sangat rendah yang memerlukan bantuan khusus;
d) Memperoleh gambaran tentang kecakapan, kemampuan, atau keterampilan seseorang individu dalam bidang tertentu.
Berbagai hal yang diperoleh konselor dari hasil tes dipergunakan konselor untuk menetapkan jenis layanan yang perlu diberikan kepada individu yang dimaksudkan.
2) Instrumen Non-Tes
Instrumen non-tes meliputi berbagai prosedur, seperti pengamatan, wawancara, catatan anekdot, angket, sosiometri, inventori yang dibakukan. Agar diperoleh hasil yang terandalkan, pengamatan dan wawancara dilakukan dengan mempergunakan pedoman pengamatan atau pedoman wawancara. Catatan anekdot merupakan hasil pengamatan, khususnya tentang tingkah laku yang tidak biasa atau khusus yang perlu mendapatkan perhatian tersendiri. Angket dan daftar isian dipergunakan untuk mengungkapkan berbagai hal, biasanya tentang diri individu, oleh individu sendiri. Sosiometri untuk melihat dan memberikan gambaran tentang pola hubungan sosial di antara individu-individu dalam kelompok. Dengan sosiometri akan dapat dilihat individu-individu yang populer, yang membentuk klik atau kelompok-kelompok tertentu, dan mereka yang terpencil (terisolasi). Sedangkan melalui inventori yang dibakukan akan dapat diungkapkan berbagai hal yang biasanya merupakan pokok pembahasan dalam rangka pelayanan bimbingan dan konseling secara lebih luas, seperti pengungkapan jenis-jenis masalah yang dialami individu, sikap dan kebiasaan belajar siswa.
2. Penyelenggaraan Himpunan Data
Data yang perlu dikumpulkan, disusun dan dipelihara meliputi data pribadi dan data umum. Data pribadi siswa di sekolah, misalnya meliputi berbagai hal dalam pokok-pokok berikut :
a. Identitas pribadi
b. Latar belakang rumah tangga dan keluarga
c. Kemampuan mental, hasil belajar, nilai-nilai mata pelajaran
d. Hasil tes diagnostik
e. Sejarah kesehatan
f. Pengalaman ekstra kurikuler dan kegiatan di luar sekolah
g. Minat dan cita-cita pendidikan dan pekerjaan/jabatan
h. Prestasi khusus yang pernah diperoleh.
Beberapa hal perlu mendapatkan perhatian dalam rangka penyelenggaraan himpunan data dan pemanfaatannya secara optimal.
a. Materi himpunan data yang baik (akurat dan lengkap) sangat berguna untuk memberikan gambaran yang tepat tentang individu. Gambaran ini dapat memberikan proyeksi untuk masa depan tentang individu yang bersangkutan.
b. Data tentang individu selalu bertambah, berubah, berkembang, dan dinamis. Oleh karena itu data dalam kumpulan data harus selalu baru dengan menambahkan data baru dan meninggalkan data lama yang sudah tidak relevan lagi. Data lama yang sudah tidak ada sangkut-pautnya lagi dengan kepentingan perkembangan kehidupan individu tidak perlu dipertahankan atau terus disimpan mengingat bahwa kumpulan data itu diadakan untuk kepentingan individu yang bersangkutan, bukan untuk kepentingan orang lain. Kumpulan data untuk keperluan bimbingan dan konseling bukanlah arsip ataupun dokumen yang sewaktu-waktu dapat dipakai untuk menjabat atau mengetahui kekurangan-kekurangan yang bersangkutan, melainkan sebaliknya, data yang dikumpulkan itu hendaknya mampu mendukung program-program pengembangan dan pencapaian tujuan-tujuan individu yang bersangkutan. Dalam kaitan itu, data yang bermakna ataupun berdampak negatif atau merugikan terhadap individu yang bersangkutan hendaknya tidak dijumpai dalam kumpulan data.
c. Data yang terkumpul disusun dalam format-format yang teratur rapi menurut sistem tertentu. Data untuk masing-masing individu dipisahkan sepenuhnya. Format dan sistem yang dipakai itu hendaknya memudahkan pemasukan data baru dan penanggalan data lama, serta memudahkan pengambilan data tertentu untuk dipergunakan dan pengembaliannya. Pemanfaatan komputer akan sangat memudahkan penyelenggaraan himpunan data seperti itu.
d. Data dalam himpunan data itu pada dasarnya bersifat rahasia. Hanya orang-orang tertentu saja yang dapat berhubungan dengan kumpulan data itu. Konselor wajib menyimpan dana memelihara segenap data itu sehingga kerahasiaan yang ada di dalamnya benar-benar terjamin. Orang-orang yang hendak berhubungan dengan himpunan data itu (misalnya guru) harus melalui konselor dengan jaminan bahwa kerahasiaan data itu tetap terjaga.
e. Mengingat bahwa data yang dikumpulkan cukup banyak, harus pula ditambah dan dikurangi sesuai dengan perkembangan, lagi pula pengeluaran data (untuk dipakai) dan pemasukannya kembali memakan waktu yang cukup banyak, konselor sering terjebak oleh pekerjaan rutin penyelenggaraan himpunan data itu. Bahkan mungkin masih ada konselor sekolah yang menganggap bahwa penyelenggaraan himpunan data itu merupakan tugas yang paling utama bagi konselor di sekolah. Pandangan seperti itu merupakan kesalahan mendasar. Tugas utama konselor adalah membuerkan berbagai layanan, yaitu layanan orientasi dan informasi, penempatan dan penyaluran, bimbingan belajar, konselor perorangan, serta bimbingan dan konseling kelompok. Kegiatan yang menyangkut himpunan data hanyalah sebagai penunjang belaka. Sangat diharapkan agar kegiatan penunjang itu tidak mengalahkan penyelenggaraan tugas utama konselor di sekolah.
Data tentang berbagai aspek perkembangan dan kehidupan sejumlah siswa atau individu di luar sekolah dapat disebut data kelompok, misalnya gambaran umum tentang cita-cita pendidikan dan jabatan, masalah-masalah yang dialami, penyebaran prestasi belajar, sikap dan kebiasaan belajar, hubungan sosial antar anggota kelompok. Data ini bersifat umum juga, dalam arti bahwa dapat diketahui oleh pihak-pihak lain, asalkan tidak disebutkan nama atau identitas dari seseorang yang datanya ada di dalam kumpulan data itu. data kelompok dapat dipergunakan untuk layanan tertentu, seperti layanan bimbingan belajar, bimbingan kelompok, konseling kelompok, dengan catatan, kerahasiaan setiap pribadi yang ada dalam data kelompok itu tetap terjaga dengan sebaik-baiknya.
3. Kegiatan Khusus
Masih ada beberapa kegiatan khusus yang memerlukan perhatian konselor, khusus konselor yang bekerja di sekolah, untuk dapat diselenggarakan dengan baik. Di sini hanya akan disinggung tiga kegiatan, yaitu konperensi kasus; bimbingan ke rumah siswa, dan alih tangan klien.
a. Konferensi Kasus
Konferensi kasus diselenggarakan untuk membicarakan suatu kasus. Di sekolah, konferensi kasus biasanya diselenggarakan untuk membantu permasalahan yang dialami oleh seorang siswa. Tujuan konferensi kasus ialah untuk :
1) Diperolehnya gambaran yang lebih jelas, mendalam dan menyeluruh tentang permasalahan siswa. Gambaran yang diperoleh itu lengkap dengan saling sangkut paut data atau keterangan yang satu dengan yang lain.
2) Terkomunikasinya sejumlah aspek permasalahan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan yang bersangkutan, sehingga penanganan masalah itu menjadi lebih mudah dan tuntas.
3) Terkoordinasinya penanganan masalah yang dimaksud sehingga upaya penanganan itu lebih efektif dan efisien.
Dalam penstrukturan itu konselor perlu membangun persepsi dan tujuan bersama dengan pertemuan itu dengan arahan sebagai berikut :
1) Tidak menekankan pada nama dan identitas siswa yang permasalahannya dibicarakan.
2) Tujuan pertemuan pada umumnya, dan semua pembicaraan pada khususnya ialah semata-mata untuk kepentingan perkembangan dan kehidupan klien; semua isi pembicaraan ialah untuk kebahagiaan klien.
3) Semua pembicaraan dilakukan secara terbuka, tetapi tidak membicarakan hal-hal yang negatif tentang diri siswa yang bersangkutan. Permasalahan siswa disoroti secara objektif dan tidak ditafsirkan secara negatif atau mengarah kepada hal-hal yang merugikan siswa.
4) Penafsiran data dan rencana-rencana kegiatan dilakukan secara nasional, sistematik, dan ilmiah.
5) Semua pihak berpegang teguh pada asas kerahasiaan. Semua isi pembicaraan terbatas hanya untuk keperluan pada saat pertemuan itu saja, dan tidak boleh dibawa keluar.
b. Kunjungan Rumah
Kegiatan kunjungan rumah, dan juga pemanggilan orang tua ke sekolah, setidak-tidaknya memiliki tiga tujuan utama, yaitu :
1) Memperoleh data tambahan tentang permasalahan siswa, khususnya yang bersangkut paut dengan keadaan rumah/orang tua,
2) Menyampaikan kepada orang tua tentang permasalahan anaknya,
3) Membangun komitmen orang tua terhadap penanganan masalah anaknya.
Ketiga tujuan itu sering kali tampil sekaligus pada waktu kunjungan rumah atau pemanggilan orang tua ke sekolah; namun demikian, dapat pula terjadi ketiganya direncanakan secara bertahap sesuai dengan tahap-tahap penanganan masalah. Untuk menyampaikan tujuan yang mana pun, sebagian atau bertahap, dalam kunjungan rumah konselor terlebih dahulu :
1) Menyampaikan perlunya kunjungan rumah kepada siswa yang bersangkutan. Siswa perlu memahami perlunya dan kegunaan kunjungan itu berkenaan dengan penanganan masalahnya. Kunjungan rumah tidak dapat dilakukan sebelum siswa memahami kegunaannya itu, dan mempersilahkannya.
2) Menyusun rencana dan agenda yang konkrit dan menyampaikannya kepada orang tua yang akan dikunjungi itu. Kunjungan rumah tidak dapat dilakukan sebelum orang tua mengizinkannya.
c. Alih Tangan
Kegiatan alih tangan meliputi dua jalur, yaitu jalur kepada konselor dan jalur dari konselor. Jalur kepada konselor, dalam arti konselor menerima “kiriman” klien dari pihak-pihak lain, seperti orang tua, kepala sekolah, guru, pihak atau ahli lain (misalnya dokter, psikiater, psikolog, kepala suatu kantor atau perusahaan). Sedangkan jalur dari konselor, dalam arti konselor “mengirimkan” klien yang belum tuntas ditangani kepada ahli-ahli lain, seperti konselor yang lebih senior, konselor yang membidangi spesialisasi tertentu, ahli-ahli lain (misalnya guru bidang studi, psikolog, psikiater, dokter). Konselor menerima klien dari pihak lain dengan harapan klien itu dapat ditangani sesuai dengan permasalahan klien yang belum atau tidak tuntas ditangani oleh pihak lain itu; atau permasalahan klien itu tidak sesuai dengan bidang keahlian pihak yang mengirimkan klien itu. Di sisi lain, konselor mengalihtangankan klien kepada pihak lain apabila masalah yang dihadapi klien memang di luar kewenangan konselor untuk menanganinya, atau setelah konselor berusaha sekuat tenaga memberikan bantuan, namun permasalahan klien belum berhasil ditangani secara tuntas.
Dalam kaitan itu, Cornier & Bernard (1982) mengemukakan beberapa praktek yang salah yang hendaknya tidak dilakukan konselor dalam kegiatan alih tangan, yaitu :
1) Klien tidak diberi alternatif pilihan kepada ahli mana ia akan dialih-tangankan.
2) Konselor mengalihtangankan klien kepada pihak yang keahliannya diragukan, atau kepada ahli yang reputasinya kurang dikenal.
3) Konselor membicarakan permasalahan klien kepada calon ahli tempat alih tangan tanpa persetujuan klien.
4) Konselor menyebutkan nama klien kepada calon ahli tempat alih tangan.
Pelayanan bimbingan dan konseling meliputi berbagai layanan dan kegiatan penunjang yang semua itu hendaknya dilakukan konselor, khususnya konselor yang bekerja pada lembaga tertentu (misalnya sekolah) dengan sejumlah warga lembaga yang menjadi tanggung jawab penuh konselor sebagai sasaran layanan. Layanan orientasi mengacu pada diperkenalkannya individu atau klien kepada lingkungan yang baru dimasukinya. Dengan program orientasi itu proses penyesuaian diri individu kepada lingkungan biasanya akan lebih cepat sehingga ia dapat menjalani perkembangan dan kehidupannya di lingkungan yang baru itu secara optimal.
Layanan informasi amat dibutuhkan oleh individu-individu yang perlu mempertimbangkan dan hendaknya mengambil keputusan tentang sesuatu (misalnya pilihan sekolah lanjutan), tetapi belum memiliki pemahaman yang cukup tentang berbagai hal berkenaan dengan apa yang hendak diputuskan itu. secara garis besar diketahui adanya informasi pendidikan, informasi jabatan/pekerjaan, dan informasi sosial-budaya. Berbagai informasi itu diperlukan oleh individu-individu, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Metode layanan informasi yang lazim dipakai ialah ceramah, diskusi, karyawisata, buku panduan, dan konferensi karier.
Pada siswa yang mengalami masalah belajar, seperti keterlambatan akademik, ketercepatan belajar, sangat lambat belajar, kurang motivasi belajar, serta bersikap dan berkebiasaan belajar buruk dalam belajar memerlukan bimbingan belajar. Masalah-masalah belajar itu dapat diidentifikasi, melalui sejumlah cara, yaitu melalui pengadministrasian tes hasil belajar, tes kemampuan dasar, tes diagnostik, analisis hasil belajar atau karya, dan pengungkapan sikap dan kebiasaan belajar. Upaya penanganan masalah belajar itu dilakukan melalui sejumlah layanan, antara lain pengajaran perbaikan, kegiatan pengayaan, peningkatan motivasi, sikap dan kebiasaan belajar. Semua layanan itu sangat memerlukan kerja sama antara konselor, guru dan personel sekolah lainnya.
Konseling program merupakan layanan yang amat khas, yaitu komunikasi langsung tatap muka antara klien dan konselor. Layanan khas ini sering dianggap sebagai “jantung hatinya” pelayanan bimbingan dan konseling secara keseluruhan. Apabila “jantung hati” itu telah dikuasai, maka layanan-layanan lainnya akan mengikut. Layanan konseling perorangan juga diberi sifat “resmi” dalam arti bahwa layanan itu merupakan usaha yang disengaja dengan niat yang mantap, memiliki tujuan yang tidak bisa lain kecuali untuk kepentingan dan kebahagiaan klien, dilaksanakan dalam format tertentu, dengan mempergunakan metode yang terukur dan teruji, serta hasilnya dievaluasi dan ditindaklanjuti. Dalam sifatnya yang “resmi” itu layanan konseling berupa mengentaskan masalah klien melalui sejumlah langkah umum, yaitu pengenalan/pemahaman masalah klien, analisis sebab-sebab timbulnya masalah, aplikasi metode khusus pengentasan, evaluasi dan tindak lanjut. Langkah-langkah umum tersebut diwarnai oleh lima tahap keefektifan konseling. Para konselor yang menyelenggarakan layanan konseling perorangan yang unik itu biasanya mendasarkan pelaksanaan layanan pada pendekatan ataupun teori konseling tertentu. Secara garis besar pada umumnya dikenal tiga pendekatan, yaitu pendekatan konseling direktif, non-direktif, dan elektrik. Konselor dapat menganut salah satu pendekatan itu, namun agaknya pendekatan elektrik lebih banyak pengaruhnya. Layanan konseling itu dapat diselenggarakan di segenap lingkungan kerja yang berbeda, di sekolah dasar, sekolah menengah, perguruan tinggi, dan di masyarakat pada umumnya.
Layanan bimbingan dan konseling kelompok memberikan kekhususan tersendiri terhadap pelayanan bimbingan dan konseling secara keseluruhan. Layanan kelompok itu memiliki beberapa keunggulan, yang paling pokok ialah bahwa ia lebih efisien, lebih ekonomis. Dinamika interaksi sosial yang terjadi di dalam kelompok memberikan warna khas yang tidak dapat terjadi pada konseling perorangan misalnya, dan kekhasan ini memberikan keunggulan yang lain. Interaksi sosial itu memungkinkan terjadinya suasana bimbingan yang nyata (yang terjadi sehari-hari) di dalam kelompok. Kekhususan out pula yang merupakan media tersedia bagi upaya pengentasan masalah klien melalui konseling kelompok. Di samping itu, konseling kelompok di satu sisi dapat menjadi lahan penjajagan bagi pelaksanaan konseling perorangan untuk klien tertentu, dan di sisi lain menjadi lahan latihan pengembangan keterampilan berkomunikasi dan berinteraksi sosial bagi klien yang oleh konseling perorangan disarankan untuk melakukan latihan yang dimaksudkan itu. Begitu menonjolkan keunggulan yang dapat ditampilkan oleh layanan konseling kelompok, sampai-sampai diramalkan bahwa pada tahun 2000 nanti seluruh pelayanan bimbingan dan konseling didominasi oleh layanan konseling kelompok.
Pelaksanaan berbagai layanan tersebut perlu ditunjang oleh sejumlah kegiatan. Instrumentasi bimbingan dan konseling dengan mempergunakan berbagai teknik tes dan non-teknis perlu dikembangkan oleh konselor. Penggunaan setiap instrumen hendaknya disertai pertimbangan yang matang, kemampuan dan ketepatan pengadministrasian/pengolahan dan penafsiran, serta tanggung jawab yang tinggi. Pemakaian berbagai instrumen itu, ditambah dengan penyelenggaraan sejumlah prosedur lainnya (antara lain pengamatan, wawancara dan pengumpulan bahan akan menghasilkan berbagai data, baik data pribadi, data umum, maupun data kelompok. Data pribadi disimpan secara khusus dalam bentuk himpunan data. Sedangkan data umum dan data kelompok dikumpulkan dalam kemasan tersendiri. Semua data itu, sesuai dengan relevansinya masing-masing, dipergunakan untuk menunjang sikap jenis layanan yang disebut di atas.
Kegiatan penunjang lain yang cukup penting adalah konferensi kasus, kunjungan ke rumah, dan penyelenggaraan alih tangan. Masing-masing kegiatan tersebut memiliki tujuan dan pola-pola pelaksanaannya sendiri yang kesemuanya tidak lain untuk meningkatkan penyelenggaraan dan keberhasilan segenap fungsi pelayanan bimbingan dan konseling.